JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Hidayat Nur Wahid, mengkritik Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia (Dewas TVRI) yang mengangkat Iman Brotoseno sebagai direktur utama (Dirut) TVRI. Pasalnya menurut Hidayat Nur Wahid, Dewas TVRI tidak melihat dan mempertimbangkan aturan Perundangan terkait ethika kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti TAP MPR No VI/2001, yang mempertimbangkan rekam jejak calon Dirut.

Terlebih lagi, Imam Brotoseno adalah mantan kontributor Majalah Dewasa Playboy Indonesia, serta tidak memiliki pengalaman sukses atasi masalah seperti yang terjadi di TVRI sebagaimana yang diharapkan oleh Dewas TVRI.

"Dewas harus menjelaskan hal tersebut secara gamblang, bahkan perlu segera merevisi keputusannya. Kok bisa rekam jejak komprehensif calon Dirut bisa luput dari perhatian dalam proses pemilihan Dirut TVRI, jabatan publik yang sangat strategis dan dibiayai oleh APBN," ujarnya dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (29/5).

HNW sapaan akrabnya mengingatkan, setiap penyelenggara negara harus tunduk kepada TAP MPR RI No. VI/MPR/2001 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Di dalam TAP itu, salah satu poinnya adalah pentingnya etika sosial dan budaya, yaitu dengan "perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa".

"Disayangkan sekali, Rekam Jejak calon Dirut TVRI yang baru sebagai eks kontributor Majalah Playboy Indonesia tidak menggambarkan hal itu. Apalagi, terkait majalah tersebut, dari pempimpin redaksi hingga beberapa modelnya pernah diproses secara hukum, berkaitan dengan delik kesusilaan," jelasnya lagi.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang salah satunya membidangi urusan keagamaan ini menilai bahwa pengangkatan Dirut TVRI dengan rekam jejak seperti itu yang tak sesuai dengan budaya beragama di Indonesia, justru akan membuat gaduh dan resah di tengah masyarakat yang lagi terkena status darurat kesehatan nasional covid-18.

"Masyarakat yang mestinya dibantu dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang membanggakan dan menenteramkan agar menguatkan religiusitas, dan harapan serta kepercayaan pada institusi negara, dan karenanya akan berkontribusi atasi Covid-19, anehnya malah kembali disodori keputusan yang menimbulkan kontroversi," tuturnya.

Apalagi, lanjut HNW, dengan posisi dimana warga diminta bekerja dan belajar dari rumah saja, tentu salah satu kegiatan yang mereka rujuk adalah tayangan TV, terutama TVRI yang bisa menjangkau masyarakat Indonesia secara sangat luas hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Nah kalau Direkturnya berlatar belakang negatif seperti itu, tentu bisa membuat keresahan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi itu berkurang,” tuturnya.

Menurut HNW, masih banyak kalangan profesional dengan track record lebih baik, yang bisa membuat kebijakan tayangan TVRI yang positif, konstruktif dan edukatif sesuai TAP MPR soal ethika kehidupan berbangsa dan bernegara itu. "Kenapa bukan itu orientasi keputusan Dewas TVRI? Padahal kalau itu yang jadi kebijakan Dewas TVRI, tentu akan didukung oleh masyarakat dan membantu menyelesaikan masalah di TVRI,” jelasnya.

HNW juga berpendapat, seharusnya Dewas TVRI menghormati proses hukum, dan krnnya dapat menahan diri sebelum kisruh dengan Dirut TVRI Helmy Yahya benar-benar clear dan selesai melalui proses di Komisi I DPR dan secara hukum. Ia menyebutkan pengangkatan Dirut yg baru ini tidak menghormati dan tidak melaksanakan rekomendasi Komisi I DPRRI untuk menunda pemilihan Dirut TVRI yang baru sebagai pengganti antar waktu. "DPR sedang menangani kisruh tersebut, tetapi justru Dewas TVRI tak mengindahkan, dan malah menambah kisruh yang baru dan lebih luas," ujarnya.

Selain itu, HNW menyebutkan bahwa pengangkatan Dirut TVRI ini tidak menghormati proses hukum gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dilayangkan atas pemberhentian Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI oleh Dewas TVRI. “Dewas seharusnya juga menghormati proses hukum yang sedang berlangsung itu. Minimal sampai ada putusan berkekuatan tetap dari pengadilan," ujarnya.

"Di era ‘new normal’ akan menjadi abnormal bila kebijakan-kebijakan yang dihadirkan justru tak mengindahkan faktor moral, legal dan tanggung jawab sosial. Kaedah yang harusnya dilaksanakan misalnya dalam 'keputusan' Dewas soal pengangkatan dirut TVRI itu," pungkasnya.***