JAKARTA - Anggota DPR-RI Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan, memprotes keras kenaikan iuran BPJS secara berjenjang yakni 2020 dan 2021 saat Pandemi Corona. "Sangat tidak tepat dan menyakiti masyarakat," ujarnya, Jumat (15/5/2020) di Jakarta.

Kenaikan Iuran BPJS jilid II ini diatur dalam Perpres No. 64/2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) dan diundangkan oleh Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada Rabu (6/5/2020).

Diketahui bahwa Perpres No. 64/2020 tersebut mengatur kenaikan iuran secara berjenjang dan mengatur tentang perubahan kedua atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) dan diundangkan oleh Menkum HAM Yasonna H. Laoly pada Rabu (6/5/2020).

Pepres 64/2020 mengatur perubahan besaran iuran dan adanya 'bantuan' iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) oleh pemerintah. Peserta segmen PBPU dan BP disebut sebagai peserta mandiri.

"Sebelum kenaikan Jilid II ini, pemerintah sempat menaikkan besaran iuran peserta mandiri pada 1 Januari 2020 berdasarkan Perpres No. 75 Tahun 2019. Namun, pada Maret 2020 Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung," ujar Kelompok Kelompok Fraksi (Kapoksi) Gerindra pada DPR RI ini.

Adapun, peserta mandiri Kelas III yang sebelumnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah besaran iurannya sebesar Rp. 25.500. Besaran iuran Kelas III yang dibayarkan peserta mandiri maupun yang dibayarkan oleh pemerintah daerah akan meningkat pada 2021 menjadi Rp35.000. Namun, besaran iuran yang dibayarkan pemerintah pusat menjadi Rp7.000, sehingga total iuran peserta mandiri per orang per bulannya tetap Rp. 42.000.

Padahal kata Heri Gunawan, sebelum kenaikan Jilid II ini, pemerintah sempat menaikkan besaran iuran peserta mandiri pada 1 Januari 2020 berdasarkan Perpres No. 75 Tahun 2019. Namun, pada Maret 2020 Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

"Ada sejumlah hal yang menjadi pertimbangan MA membatalkan Perpres No. 75/2019 seperti ketidakseriusan sejumlah kementerian terkait dalam berkoordinasi, ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dan mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan," tandasnya.

"Sehingga ini menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi," tegas Hergun, sapaan akrabnya.

Menanggapi kenaikan iuran BPJS Jilid II tersebut, kata Ketua DPP Partai Gerindra ini, setidaknya ada tiga alasan kenapa kenaikan tersebut tidak tepat.

Pertama bahwa kenaikan iuran BPJS di tengah Pandemi Covid-19 sangat tidak tepat didasarkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 hanya mencapai 2,97 persen. “Yang artinya rakyat mengalami penurunan ekonomi secara drastis,” tegas dia.

Kenaikan iuran BPJS juga tidak sesuai dengan semangat pemerintah yang sedang menggenjot stimulus perekonomian nasional. Di satu sisi Pemerintah mengguyur dengan berbagai program seperti restrukturisasi kredit, insentif perpajakan dan bantuan sosial. Namun di sisi lain tetap menaikkan pungutan yang memberatkan rakyat. Ini ibaratnya masuk kantong kanan keluar kantong kiri.

"Dan ketiga, pemerintah belum melaksanakan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan MA saat membatalkan Perpres 75/2019," pungkasnya.***