JAKARTA - Iuran BPJS Kesehatan kembali naik. Kenaikan ini diatur dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut diteken oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) lalu Kenaikan iuran bagi peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) diatur dalam Pasal 34. Kenaikan mulai berlaku pada 1 Juli 2020 mendatang.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi IX, Saleh Partaonan Daulay, menyesalkan keluarnya Perpres 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan itu.

Pemerintah menurut Wakil Ketua Fraksi PAN itu, terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang membatalkan perpres 75/2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Padahal, warga masyarakat banyak yang berharap agar putusan MA itu dapat dilaksanakan dan iuran tidak jadi dinaikkan.

"Sejak awal, saya menduga pemerintah akan berselancar. Putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan aturan baru. Mengeluarkan perpres baru tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA," ujar Saleh kepada GoNews.co, Rabu (13/5/2020)

Wakil Ketua MKD menduga, pemerintah sengaja menaikkan iuran BPJS itu per 1 Juli 2020. Dengan begitu, ada masa dimana pemerintah melaksanakan putusan MA mengembalikan besaran iuran kepada jumlah sebelumnya yaitu Kelas I sebesar Rp 80 ribu, Kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan Kelas III sebesar Rp 25,500.

"Artinya, pemerintah mematuhi putusan MA itu hanya 3 bulan, yaitu April, Mei, dan Juni. Setelah itu, iuran dinaikkan lagi," tandas Mantan Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah itu.

"Dan uniknya lagi, iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021. Pemerintah kelihatannya ingin membawa pesan bahwa mereka peduli masyarakat menengah ke bawah," timpalnya.

Pemerintah kata Saleh Daulay, tidak memiliki empati kepada masyarakat. Saat ini kata dia, bukan waktu yang tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini. "Masyarakat dimana-mana lagi kesulitan. Dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk mebayar iuran tersebut. Padahal, di dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 jelas-jelas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan," tukasnya.

Negara lanjut Dia, harus memberikan jaminan bagi terselenggarannya pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Ia mengaku khawatir, dengan kenaikan iuran akan banyak masyarakat yang tidak bisa membayar. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan.

"Dampaknya bisa serius dan dapat mengarah pada pengabaian hak-hak konstitusional warga negara. Kita memahami bahwa negara tidak memiliki anggaran yang banyak. Tetapi, pelayanan kesehatan mestinya dijadikan sebagai program primadona. Seluruh lapisan masyarakat membutuhkan."

Perpres baru ini juga diukhawatirkan akan dilawan oleh masyarakat. Mereka tetap saja memiliki peluang untuk menggugat kenaikan ini ke Mahkamah Agung. Berkaca pada gugatan sebelumnya, potensi mereka menang sangat tinggi. Semestinya, hal ini juga sudah dipikirkan oleh pemerintah.

"Kan repot sekali urusannya. Dinaikkan, lalu digugat. Gugatan menang, ganti perpres dan naikkan lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti perpres, iuran dinaikkan lagi," pungkasnya.***