JAKARTA - Komite III DPD RI, kembali membahas soal RUU Cipta Kerja, Kamis (6/5/2020).

Komite III DPD RI, sebagai salah satu alat kelengkapan DPD RI yang mempunyai lingkup tugas dalam bidang agama dan ketenagakerjaan telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Marfuddin, dan Said Iqbal, ME selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

RDPU tersebut bertujuan untuk melakukan pengayaan materi atas Naskah Pandangan dan Pendapat Komite III DPD RI terhadap RUU Cipta Kerja.

Dalam RDPU tersebut, Ade Marfuddin menanggapi sekaligus mengkritisi Pasal 75 RUU Cipta Kerja yang pada pokoknya mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

"Secara substansi norma pengaturan yang ada dalam draf RUU Cipta Kerja khususnya bidang PIHK dan PPIU tidak memberikan penguatan untuk perbaikan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah," ujarnya.

Yang banyak dipersoalkan dalam draft RUU Cipta Kerja kata Dia, lebih kepada aspek pelaporan, pembukaan Kantor Cabang PIHK dan PPIU, perubahan ancaman pidana menjadi sangat administratif dan ada tendensius keberpihakan pada dunia usaha saja.

Terkait aspek kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) untuk melaporkan kepada Pemerintah Pusat bukan kepada Kanwil Agama setempat, menurut Wakil Ketua Komite III DPD RI, Evi Apita Maya, tidak efektif dan tidak efisien serta berpotensi menimbulkan birokrasi baru.

"Mengingat bahwa banyak PPIU yang domisili perusahaannya tidak hanya di Jakarta," tukasnya.

RUU Cipta Kerja kata Evita, hanya memberikan kemudahan perizinan berusahan serta kemudahan dan persyaratan investasi kepada PPIU dan PPIH, namun tidak adanya ketegasan dalam perlindungan atau proteksi hak-hak calon jamaah haji dan umrah yang dilaksanakan oleh PPIU dan PPIH.

"Pemikiran untuk merubah sangsi dari pidana menjadi sangsi administrasi dinilai kurang tepat, bahkan memberi peluang terbuka bagi PIHK dan PPIU untuk melakukan dan mengulang kejahatan yang serupa terhadap jemaah umrah. Justru seharusnya pemikiran RUU Cipta Kerja “omnibus law” lebih kepada peningkatan sangsi pidana yang lebih berat dan berefek jera kepada pelaku usaha dibidang haji dan umrah bukan malah sebaliknya melemahkan yang sudah ada," tegasnya.

UU Haji dan Umrah pada prinsipnya lanjut Evita, telah cukup mengatur terkait norma PIHK dan PPIU dengan baik sehingga tidak perlu masuk dalam wilayah pembahasan RUU Cipta Kerja. Kalaupun harus ada perubahan dan perbaikan terhadap sebagian Bab dan Pasal pada Undang Undang PIHU No 8 Tahun 2019 berikan waktu dulu untuk di evaluasi setelah minimal 3 tahun undang undang tersebut di jalankan oleh Pemerintah dan Masyarakat (PIHK dan PPIU).

Terkait dengan UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, menurut Said Iqbal, Pemerintah dan DPR RI telah sepakat, bahwa kluster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja akan dibahas ulang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan khususnya melibatkan serikat pekerja/serikat buruh. Hal tersebut sebagai upaya untuk menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melawan pandemi Covid-19 dan mengatur strategi bersama mencegah darurat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Serikat pekerja/buruh secara tegas bersikap bahwa Pembahasan RUU Cipta Kerja kluster ketenagakerjaan untuk ditunda sampai dengan Pandemi Covid-19 selesai. Kemudian norma terkait kluster ketenagakerjaan dibahas ulang dengan melibatkan serikat pekerja/buruh, dengan 3 (tiga) pilihan selanjutnya terkait norma baru kluster ketenagakerjaan: masuk kedalam draft RUU Cipta Kerja, Perubahan/Revisi UU terkait Ketenagakerjaa, dan dibuat Draft RUU Cipta Kerja baru terkait kluster ketenagakerjaan," tandasnya.

Argumentasi yang menjadi dasar penolakan KSPI terhadap RUU Cipta Kerja khususnya kluster ketenagakerjaan adalah; (1) potensi hilangnya upah minimum, (2) potensi hilangnya pesangon, (3) outsourcing di semua jenis pekerjaan, (4) karyawan kontrak tanpa batasan, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) potensi hilangnya jaminan sosial, (8) PHK menjadi semakin mudah, dan (9) hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.

Berdasarkan paparan dari Narasumber itu, Komite III DPD RI akan mengakomodir masukan sebagai bahan pengayaan materi atas Naskah Pandangan dan Pendapat Komite III terhadap RUU Cipta Kerja.

"Secara subtansi Komite III DPD RI siap melakukan pembahasan bersama dengan DPR dan Pemerintah (Tripartit) terhadap RUU Cipta Kerja dan tentunya pembahasan dapat dilakukan setelah Pandemi Covid-19 berakhir," ujar Evita.

Untuk itu, Komite III DPD RI, meminta Pemerintah untuk melakukan evaluasi atas kebijakan Jaring Pengaman Sosial Covid-19 agar tepat guna dan tepat sasaran, khususnya bagi para pekerja yang rentan terkena dampak Covid-19 serta yang terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).***