MEDAN-Pengamat ekonomi Gunawan Benjamin mengatakan, RUU Omnibus law merupakan tuntutan zaman di era pasar terbuka. Dikatakan Benjamin, salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pengangguran.

Jika RUU ini dijadikan UU nantinya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Demikian point diskusi "Urgensi RUU Omnibus Law Cipta Kerja" yang digagas Suluh Muda Indonesia (SMI) di Restoran Bunda, Jalan Iskandar Medan, Sabtu (14/3/2020)

"Saya yakin kalau RUU ini disahkan, pertumbuhan ekonomi bisa tumbuhan 6-7 persen per tahun. Itu angka ideal untuk Indonesia, karena angka 5 persen pertumbuhan tidak cukup," kata Gunawan.

Dijelaskannya lagi, dalam perhitungan ekonom, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa mengcover 500 ribu orang. Sementara angka pencari kerja 4,5 juta orang per tahun di Indonesia.

"Kaum buruh yang menolak RUU ini juga harus melihat dari sisi masyakarat kelompok pengangguran. Omnibus law ini akan memberikan kesempatan kerja yang luas kepada kelompok pengangguran, maka kesejahteraan akan meningkat dan merata," kata Benjamin.

Menurut Benjamin, Indonesia jangan terlambat menerapkan omnibus law, mengingat negara-negara tetangga sudah menerapkan itu dan secara ekonomi mengalami peningkatan.

"Tentang ini, kita harus berpikir panjang. Ini untuk kepentingan ekonomi jangka panjang Indonesia. Jika Indonesia tidak menerapkan itu, Indonesia akan rugi sendiri," imbuhnya.

Menurut Benjamin, kesempatan ini akan diambil negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia maupun Thailand. Ditambahkan, Benjamin, Indonesia tidak bisa lepas dari trend global, karenanya apa yang dilakukan pemerintah sudah tepat, meski beberapa hal tetap harus dikritisi sehingga draft ini lebih baik dan mengakomodir semua kepentingan.

Direktur Eksekutif SMI Kristian Redison Simarmata, salah satu pemantik diskusi, mengatakan, banyak hal yang masih perlu dibahas dalam RUU ini. Antara lain, penghapusan amdal dan potensi makin tereksploitasinya lingkungan.

"Sementara dari sisi masyarakat, investasi yang diusung di draft ini juga tidak menjamin kesejahteraan masyarakat. Kalau ada negara yang memberlakukan upah per jam, sebagaimana yang ditekankan di draft RUU, itu karena standart upahnya sudah tinggi, beda dengan di Indonesia. Mestinya yang diperkuat adalah inovasi masyarakat, bukan investasi, karena investasi itu cenderung eksploitatif," kata Kristian.

Kristian menambahkan, draft ini terkesan terburu-buru dan sepertinya tidak punya naskah akademis. Dari sisi regulasi, sambung Kristian, jika semua regulasi ujung-ujungnya ditentukan pemerintah pusat, ditakutkan Indonesia akan kembali ke demokrasi terpimpin.

"Jadi sebenarnya masalahnya bukan di birokrasi, tapi SDM di birokrasi yang perlu dirubah. Karena itu, selain inovasi, SDM yang perlu didorong, bukan ujug-ujug undang investor," kata Kristian.