JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani tidak yakin terjadi salah ketik terkait draf Pasal 170 Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang mengatur presiden bisa membatalkan undang-undang (UU) lewat peraturan pemerintah (PP). Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP) itu lantas memberikan contoh penulisan yang salah ketik. "Saya kira tidak salah ketiklah. Sebab, kalau salah ketik itu misalnya harusnya katanya ada menjadi tidak ada, itu menjadi salah ketik. Atau bisa menjadi tidak bisa, atau tidak bisa jadi bisa, nah itu salah ketik," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/2/2020).

Arsul menyatakan jika dalam satu kalimat, apalagi di dua ayat yang terkait, tidak mungkin salah ketik. Namun, ujar Arsul, ini baru RUU, dan masih bisa diperbaiki. "Nah tentu berterima kasih bahwa para ahli hukum, elemen masyrakat sipil, teman-teman media mengingatkan itu, sehingga itu nanti menjadi paham pembahasan di DPR ini," ungkap Arsul.

Masih kata Arsul, dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, maka rumusan Pasal 170 yang ada di draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja itu menjadi masalah.

Menurutnya, dalam UU 12/2011, PP adalah peraturan yang dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan UU. Nah, kata Arsul, kalau ada PP menggantikan UU itu berati menabrak definisi di dalam UU 12/2011.

Dari sistem ketatanegaraan juga tentu bermasalah. Menurut dia, kalau presiden bisa mengubah UU dengan PP, itu sama saja mensubordinasikan posisi DPR di bawah presiden.

Menurut dia, kalau concern-nya ingin proses yang cepat, bukan harus mengubah UU dengan PP. Namun, kata dia, apa yang ada di dalam UU itu yang terkait dengan hal-hal yang diatur di Omnibus Law RUU Cipta Kerja bisa dibuat proses perundang-undangan yang cepat.

"Misalnya kalau pemerintah berinisiatif mengubah suatu ketentuan di dalam UU Cipta Kerja nantinya, maka yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengajukan RUU. Dan itu harus dibahas dengan supercepat, kemudian diatur dalam RUU Omnibus Law itu," paparnya.

Dalam UU 12/2011 itu kata Arsul, bila DPR atau pemerintah yang mengajukan UU inisiatif, harus direspons. "Respons itu 60 hari. Jadi, bukan dengan mengubah satu ketentuan UU dengan peraturan pemerintah," ujar dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, kemungkinan penempatan Pasal 170 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja disebabkan adanya salah ketik.

"Kalau isi UU diganti dengan PP, diganti dengan perpres, itu tidak bisa. Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada (aturan) begitu (di dalam draf)," ujar Mahfud di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020).

Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ketika ditanya apakah Pasal 170 dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja terdapat salah ketik atau tidak.
Yasonna mengatakan, akan mengecek Pasal 170 tersebut. Ia juga mengatakan, PP memang tidak boleh membatalkan Undang-Undang. "Nanti saya cek," kata Yasonna di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2020).

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, terdapat kekeliruan dalam Pasal 170. Sama dengan Yasonna, ia mengatakan, PP tidak bisa membatalkan atau mengubah undang-undang karena kedudukan undang-undang lebih tinggi dari peraturan pemerintah. "Itu kembali keliru lagi, karena hierarki UU itu kan PP itu di bawah UU, jadi PP tidak bisa membatalkan UU," kata Airlangga di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).

Airlangga juga menjelaskan, Pasal 170 dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja tertuang norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) perizinan . Aturan itu dibuat lantaran selama ini banyak perizinan yang memakan waktu lama, sehingga investasi banyak yang tidak terealisasi.

"Jadi NSPK untuk baik kementerian maupun terkait dengan perizinan itu ada standarnya. Jadi ada service level agreement sehingga misalnya untuk mengatur atau perizinan itu dibatasi tidak ada perizinan yang bisa diurus dalam waktu 3 tahun," ujar Airlangga.***