JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin, menyatakan sependapat dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purnawirawan), AM Hendropriyono, yang menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) melainkan organisasi teroris Internasional.

Hal itu disampaikan Azis merujuk pada pasal 1 ayat 2, Undang Undang Terorisme yang baru, atau UU No 5 Tahun 2018, yang mana terorisme didefinisikan sebagai "Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan,"

"Merujuk UU tersebut, agaknya kelompok bersenjata di Papua memenuhi beberapa kriteria yang dimaksud," kata Azis dalam keterangan kepada wartawan, Minggu malam (18/1/2020).

Sebagai contoh, kata Azis, pembantaian 31 orang pekerja infratruktur yang terjadi pada tahun 2018, tentunya melahirkan suasana teror di tengah masyarakat.

Terkait dengan jumlah korban, angka 31 ditambah dengan 1 orang anggota TNI yang tewas satu hari setelahnya, bahkan lebih besar dari jumlah korban terorisme yang berlangsung dalam satu dekade terakhir di Indonesia.

"Dan bila benar tindakan tersebut di dorong oleh motif untuk memisahkan diri dari NKRI, artinya gerakan tersebut juga bersifat ideologis dan bermotif politik," kata Wakil Ketua DPR RI bidang Korpolkam itu.

Bila ditinjau dari perspektif strategis, lanjut Azis, redefinisi status KKB Papua menjadi organisasi terorisme, juga bisa memudahkan aparat untuk menegakkan hukum di wilayah Papua.

"Karena statusnya akan definitif, dan payung hukumnya pun akan lebih kokoh dari pada status kelompok kriminal (KKB) biasa," kata dia.

Redefinisi identitas ini juga akan menghindari kemungkinan persinggungan isu kemanusaiaan dan pelanggaran HAM yang saat ini sudah bergaung di forum internasional.

"Belum hilang dari ingatan kita, tahun 2016 yang lalu, isu pelanggaran HAM Papua dilontarkan oleh negara-negara di kepulauan Pasifik dalam Sidang Umum PBB. Dan pada tahun 2017 lalu, hal tersebut kembali terjadi, dimana delegasi Indonesia di PBB terpaksa harus menanggapi tuduhan yang sampaikan kepada Indonesia," kata Azis.

Dalam kerangka ini, meredefinisi identitas kelompok kriminal bersenjata Papua menjadi kelompok teroris, akan secara otomatis mengunci kemungkinan lahirnya dukungan masyarakat internasional atas gerakan mereka.

Sebab, kata Azis, terorisme sudah disepakati oleh dunia sebagai musuh kemanusiaan. Di sisi lain, sebagaimana layaknya organisasi teroris, pemerintah dapat melacak akses jejaring internasional mereka, termasuk juga aliran dana internasional yang mendukung gerakan mereka.

"Selain itu, pemerintah dan masyarakat dapat membedakan secara definitif antara tuntutan objektif yang murni berasal dari aspirasi masyarakat Papua, dengan gerakan kriminal yang berkedok aspirasi politik masyarakat," kata Azis.

Meski demikian, ada bebepa hal yang perlu diperhatikan, yang bukan tidak mungkin akan menjadi ganjalan dalam proses mendefinisikan status kelompok kriminal bersenjata Papua sebagai organisasi terorisme.

Pertama, jelas Azis, berbeda dengan ISIS, JI, ataupun JAD, yang identitasnya melekat pada ideologi yang imajinatif dan subjektif, kelompok kriminal bersenjata Papua, identitas dan ideologinya terikat pada tanah yang definitif.

Sebagaimana nasionalisme, Ideologi yang terikat pada tanah bersifat objektif. Layaknya kelompok separatis lainnya di dunia, KKB Papua akan menilai bahwa eksistensinya adalah demi mempertahankan tanah airnya.

Hal ini tentu akan sangat merepotkan bagi siapa saja untuk mengubahnya. Karena pernyataan tersebut pasti akan dibenarkan oleh akal sehat manapun. Bahkan pembukaan UUD 45 mengatakan bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.

"Kedua, jangan lupa, bahwa saat ini ideologi gerakan Papua merdeka sudah cukup banyak mempengaruhi banyak Negara," tandas Azis.

Redefinisi identitas mereka menjadi kelompok teroris akan secara langsung berhadapan dengan kemungkinan persinggungan isu kemanusaiaan dan pelanggaran HAM yang saat ini sudah bergaung di fora internasional.

"Pemerintah juga jangan ceroboh. Harus ada gugusan fakta yang utuh, sebelum menetapkan satu organisasi atau kelompok sebagai teroris," kata dia.

Selain itu, pemerintah juga perlu memikirkan sejumlah kemungkinan yang terjadi ketika status KKB Papua dinaikkan menjadi organisasi terorisme internasional.

Sebab kemungkinan besar kita akan berhadapan dengan pembuktian terbalik dari ratusan fakta objektif yang berserak di Tanah Papua. Bila tidak hati-hati bukan tidak mungkin semua definisi terorisme dalam UU No 5 Tahun 2018 tersebut di atas, akan berbalik menunjuk pada Indonesia sendiri.

Maka tujuan melakukan redefinisi terhadap identitas kelompok kriminal bersenjata ini, agar bisa membedakannya dengan aspirasi masyarakat Papua yang sesungguhnya. Karena bukan tidak mungkin, pergerakan kelompok kriminal ini sebenarnya berbeda dengan yang diaspirasikan oleh sebagian masyarakat Papua sendiri.

Namun demikian, perlu diingat bahwa upaya penegakan hukum terhadap kelompok kriminal bersenjata tersebut harus tetap mengacu pada prinsip Hak Asasi Manusia dan berada dalam koridor yang sah menurut hukum.

"Sebab kita tentu tidak ingin mengulang sejarah kekerasan di tanah Papua yang mengatasnamakan pertahanan dan keamanan Negara," kata mantan Ketua Komisi III DPR RI ini.

"Akan tetapi, kita juga perlu membuka mata, bahwa pemerintahan Jokowi sedang berusaha sekuat tenaga memeluk Papua agar betah berada di atas pangkuan ibu pertiwi,".

Meski upaya yang dilakukan belum sempurna, tapi beberapa kemajuan sudah berhasil dicapai seperti, kebijakan BBM satu harga; pembangunan Tol laut sehingga harga-harga bahan pokok menjadi lebih murah; dan juga pembangunan infrastruktur wilayah, agar sirkulasi barang dan manusia dapat berlangsung lebih mudah dan lancar.

Tapi alih-alih di tengah upaya tersebut, sejumlah insiden keamanan pun masih saja terjadi. Mulai dari kasus pembantaian yang menimpa para pekerja proyek infrastruktur jalan trans-papua pada tahun 2018, kerusuhan besar yang dipicu oleh ucapan rasisme oleh sekelompok orang tidak bertanggung jawab pada peringatan HUT RI ke 74 di Surabaya, dan belakang adalah meningkatnya frekuensi baku tembak antara TNI-Polri dengan KKB Papua.

Sederet tragedi ini tentunya perlu mendapat perhatian khusus dari Negara. Bukan tidak mungkin masih ada aspirasi tulus dari masyarakat Papua yang belum diakomodir dengan baik.

"Atau masih banyak kesalahan dari sejumlah kebijakan yang sejauh ini diimplementasikan di sana," kata dia.***