MEDAN - Masitoh, sebut saja namanya begitu. Sudahlah 'disingkirkan' keluarga, yatim piatu berusia 13 tahun ini kembali mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan. Ya, pelajar kelas 6 SD di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Deli Serdang ini, mendapat diskriminasi oleh tenaga medis di salah satu rumah sakit terbesar di Kota Medan, karena statusnya menyandang HIV/AIDS. Hal ini bermula saat Masitoh mengalami abses di perut dan berobat ke rumah sakit terbesar di Kota Medan bersama guru sekolahnya. Di mana, dokter mengatakan bahwa Masitoh cukup dibawa ke klinik atau puskesmas di dekat rumah.

"Malahan dokternya bilang, jangan bilang kalau sudah dibawa ke rumah sakit ini, alasannya karena tidak ada alat," beber Z di hadapan Ketua Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI) Sumatera Utara, Dr dr Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI di dampingi Ketua KPA Sumut dr Mahyono SpB bersama pengurus, dan Wakil Ketua Majelis Kesehatan Aisyiah Daerah Kota Medan, Yerni, Jumat (3/1/2020).

Tak hanya itu saja, ironisnya lagi, orangtua siswa yang sebangku dengan Masitoh, meminta kepada pihak sekolah untuk mengeluarkan surat pindah kepada anaknya. Hal ini karena status Masitoh dan takut anaknya tertular HIV/AIDS.

"Jadi suami saya bilang, kalau gara-gara merawat dan mendidik anak yatim piatu sekolah kita ini tutup, ya sudah gak apa-apa. Terakhir kami kasih surat pindahnya. Kami Lillahi Ta'ala aja merawat, yang penting dia sehat, mendapatkan pendidikan, itu saja cukup," timpal sang kepala sekolah, Yar.

"Saya berharap, anak kami ini bisa sukses dan dia bisa tunjukkan kepada keluarganya bahwa dia bisa berhasil," harapnya.

Menyikapi itu, Dr dr Umar Zein yang juga Ketua Prodi Profesi di FK UISU ini mempertanyakan program pemerintah akan three zero. Di mana, tahun 2030 mendatang tidak ada lagi diskriminasi, kasus baru dan kematian akibat HIV/AIDS.

"Inilah buktinya bahwa diskriminasi dan stigma itu masih kental di tenaga medis dan juga masyarakat," sesalnya.

Umar membeberkan, sudah lebih dari 30 tahun program penanggulangan HIV/AIDS ini dilaksanakan di dunia dan khususnya di Indonesia, namun stigma dan diskriminasi belum juga dapat diatasi.

"Malahan juga dilakukan tenaga kesehatan," cetusnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua Majelis Kesehatan Aisyiah Daerah Kota Medan, Yerni menuturkan, masalah HIV/AIDS yang selama ini tidak hanya berkaitan dengan isu kesehatan saja, namun juga berdampak pada sosial, pendidikan dan juga ekonomi.

"Pemerintah harus menjawab persoalan ini, harus ada sebuah gerakan yang ril agar kasus seperti ini tidak terulang kembali. Miris kita melihat anak kita ini mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari lingkungan sekitar maupun tenaga medis," tukasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sumut, dr Mahyono SpB melakukan kontak dengan lintas sektor terkai melalui selulernya untuk bersama-sama memikirkan solusi ke depan yang harus dilakukan. Namun, Mahyono berharap, program pengobatan terhadap Masitoh harus teratur dan terukur sesuai dengan standar.

"Kemudian, pendidikannya harus sampai selesai hingga maksimal ke perguruan tinggi, kehidupannya sehari-hari juga bisa berinteraksi dengan lingkungan, tidak boleh dikucilkan atau didiskriminasi," terangnya di dampingi Wakil Ketua KPA Sumut Raja Nasution, Bendahara Ahmad Ramadhan dan Ikrimah Hamidy.

"Dia butuh psikologis dan fisiknya, agar dia bisa seperti orang normal. Karena bagaimanapun ini anak bangsa Indonesia, Sumatera Utara dan khususnya Deli Serdang. Sebagai Ketua KPA Sumut, kita koordinasi dengan lintas sektor lainnya agar anak kita ini bisa menjadi lebih baik lagi ke depan. Bisa saja ada anak-anak lainnya seperti anak kita ini. Supaya masyarakat juga tahu bahwa pengidap HIV tidak boleh didiskriminasi, dipisahkan, disingkirkan dalam kehidupan," terangnya.

Dia juga mengajak jangan lagi ada diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS khususnya di kalangan tenaga medis.

"Jadi dengan adanya KPA dan pakar-pakar HIV/AIDS ini, anak-anak pengidap HIV/AIDS dapat ditangani dengan baik dan kita urus dengan baik pula, agar dia bisa berbaur dengan masyarakat, layaknya anak-anak yang lain dan siap menggapai pendidikan setinggi-tingginya," harapnya.

Di sisi lain, dirinya mengajak media massa untuk memberikan pencerahan dan pemberitaan positif mengenai HIV/AIDS dan juga program kesehatan Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi yang begitu peduli dengan kesehatan masyarakatnya.

"Kesehatan adalah prioritas pertama, karena kalau dia tidak sehat, dia tidak bisa belajar, tidak bisa bekerja dengan baik, tidak bisa berproduksi. Jadi, sehat itu adalah prioritasnya. Saya kira sama-sama lah kita, Bapak Gubernur sudah memprioritaskan masalah kesehatan, kita sebagai warga, sebagai profesional, orang media, ayok kita sama-sama membangun, mempublikasikan sebaik-baiknya. Karena tanpa pemberitaan yang intens, apa yang dibuat Bapak Gubernur kita, tidak kelihatan. Terutama dalam bakti kesehatan bermartabat (BKB). Harapan kami, yok tahun 2020 kita songsong Sumatera Utara ini yang bermartabat," tutupnya.

UISU Siap Dilibatkan

Sementara itu, Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, Dr Yanhar Jamaluddin MAP menyesalkan adanya diskriminasi yang dilakukan seorang tenaga medis.

"Mendengar cerita Masitoh ini kita kecewa dengan perlakuan tenaga medis yang mengesampingkan pasien penderita HIV/AIDS. Perlakuan diskriminatif ini jelas jelas melanggar kode etis pelayanan kesehatan," cetusnya.

Rektor menambahi, sikap yang dilakukan tenaga medis ini harus menjadi perhatian pemerintah dan semestinya diberikan sanksi pembinaan terhadap mereka.

"Tujuannya supaya para tenaga medis benar-benar melaksanakan fungsinya sebagai pemberi pelayanan medis kepada pasien," urainya.

UISU turut peduli terhadap kasus Masitoh ini dan siap apabila dilibatkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Kesehatan.

"Dalam hal ini UISU siap berperan sebagai penyuluh yang memberikan edukasi pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS. Melalui peran edukasi ini akan mengurangi stigma negatif masyarakat tentang pemahaman dan penanggulangan HIV/AIDS," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Dekan FK UISU, dr Indra Janis MKT. Dekan menyampaikan, diskriminasi ini terjadi dikarenakan masih belum menerimanya informasi yang utuh, baik dokter dan paramedis, karena mereka belum tertarik atau kurang mengikuti perkembangan ilmu kedokteran saat ini, terutama tentang HIV/AIDS dapat disembuhkan.

"Dan perlu peran pemerintah dalam hal ini dinas kesehatan bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran secara berkala melakukan lokakarya. Terhadap masyarakat juga perlu pemahaman HIV/AIDS melalui penyuluhan dan FK. UISU siap berperan dalam hal tersebut. Terhadap Masitoh ini jangan terulang lagi dan Tim FK UISU harus membantu pemerintah mencapai three zero tahun 2030," tandasnya.