MEDAN-Kasus kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi di mana saja. Berdasarkan data korban kekerasan terus meningkat setiap tahunnya. Pelakunya dapat merupakan orang terdekat dengan korban bahkan juga terjadi di lingkungan kampus. Mirisnya, penyelesaian kasus-kasus kekerasan ini juga sangat lambat. Sehingga mengakibatkan pelaku tidak mendapatkan efek jera terhadap perbuatannya.

“Hari ini bertepatan dengan momen kampanye 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan yang dimulai dari tanggal 25 November 2019 sebagai hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) dan berakhir hari ini tanggal 10 Desember sebagai hari Hak Azasi Manusia (HAM) internasional. Melalui kegiatan ini kita ingin mengatakan bahwa hak azasi perempuan adalah HAM itu sendiri,” ujar Ketua Dewan Pengurus Hapsari yang juga panitia Gerak Bersama untuk HAM dan Perempuan, Lely Zailani dalam Diskusi Kampanye Peringatan 16 HAKTP dan Hari HAM Internasional, di Aula Fakultas Ilmu Sosial Unimed, Selasa (10/12/2019).

Gerak Bersama untuk HAM dan Perempuan ini dilakukan oleh berbagai lintas lembaga di Sumatera Utara yang saling bersinergi untuk mengkampanyekan 16 hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan HAM internasional. Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Rektor Unimed, DR. Syamsul Gultom, SKM, M. Kes dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumut, Nurlela.

Sebelumnya masing-masing lembaga yang bergabung dalam Gerak Bersama untuk HAM dan Perempuan ini telah melakukan berbagai kegiatan dalam rangka mengkampanyekan 16 HAKTP dan HAM internasional. Di antaranya diskusi, kunjungan ke media, kuliah umum, nonton film, pentas seni dan lainnya.

Dalam Diskusi Kampanye Peringatan 16 HAKTP dan Hari HAM Internasional, di Aula Fakultas Ilmu Sosial Unimed dibahas berbagai isu seperti perempuan dan intoleransi, perempuan dan jurnalisme, kekerasan terhadap LGBTI, kekerasan seksual, perempuan dan HIV AIDS, perempuan dan lingkungan juga gerakan perempuan muda. Turut menjadi narasumber Sophia Anggraita dari UEM, Lely Zailani (Hapsari), Pdt. Debora (HKBP) dan Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumut, Nurlela.

Lebih lanjut Lely mengatakan, berdasarkan catatan Hapsari kekerasan seksual semakin banyak dialami oleh anak dan pelakunya masih orang terdekat seperti keluarga, orangtua, paman, abang dan sebagainya. “Ini sangat sedih karena kita belum memiliki payung hukum yang kuat untuk perlindungan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual kepada anak,” terangnya sembari menyebutkan pada Desember 2019 ditemui ada 50 kasus kekerasan perempuan dan anak, paling banyak terjadi di Deliserdang dan Serdang Bedagai, delapan kasus kekerasan di antaranya terjadi pada anak dan remaja.

Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sumut, Nurlela menyebutkan kasus-kasus kekerasan memang masih sulit untuk diselesaikan. Banyak kasus kekerasan seperti gunung es yang tidak terungkap. Pihaknya terus berupaya untuk bersinergi dengan instansi lain dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Seperti kasus pelecehan perempuan di lingkungan kampus di Medan yang sulit untuk diselesaikan. Tidak ada upaya penyelesaian yang maksimal di lingkungan kampus. Terutama korban yang banyak tidak melaporkan kasusnya, sehingga kita sebagai eksekutif tidak mengetahuinya. Makanya, mari kita bersama-sama berbuat untuk menuntaskan kasus-kasus seperti ini, semua permasalahan perempuan harus kita suarakan,” papar Nurlela.

Antropolog dari Unimed, Dr. Rosmadhana, M.Si menambahkan bahwa selama aini pihaknya juga terus melakukan kajian terhadap isu tentang ketertindasan perempuan. “Dalam dunia pendidikan kita juga berupaya untuk mentransferkan ilmu kita kepada mahasiswa bukan hanya sebagai konsep teoritis tetapi juga harus ada implementasi dari ilmu yang mereka dapatkan selama ini dalam perguruan tinggi, ini membuka pemikiran baru dalam kajian-kajian kampus” ujarnya.

Rektor Unimed, DR. Syamsul Gultom, SKM, M. Kes yang hadir sebagai keynote speaker dalam kegiatan itu mengatakan, bahwa kegiatan ini merupakan satu bentuk sinergitas yang sudah terjalin di antara institusi pendidikan, pemerintah, lembaga masyarakat, komunitas dan jurnalis. Melalui sinergitas ini diharapkan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dapat segera ditangani.*