JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI menyelenggarakan Diskusi Publik menyorot persoalan Listrik Nasional Untuk Kesejahteraan Rakyat pada hari ini (Selasa, 10/12) di Kantor Fraksi PKS DPR RI Senayan. Diskusi menghadirkan narasumber kompeten antara lain Rudiantara (Dirut PT PLN), Agung Firman Sampurna (Ketua BPK), Sa'adiah Uluputti (Anggota Komisi VII DPR/FPKS), dan Tulus Abadi (YLKI).

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan, listrik dan elektrifikasi ini sektor vital bagi bangsa Indonesia. Kebutuhannya semakin besar sementara sumbernya secara konvensional terbatas. Untuk itu pemerintah dituntut kreatif dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan listrik yang tidak membebani rakyat terlalu berat.

"Hidup kita hari ini nyaris 100 persen tergantung listrik dengan kebutuhan yang semakin meningkat setiap tahun. Dan kebutuhan terbesar ada pada sektor rumah tangga. Kalau kapasitas suplai dan distribusi listrik kita masalah bisa terbayang potensial kerugiannya. Dan kita mengalami beberapa waktu lalu khususnya di Jakarta," ungkap Jazuli.

Pernyataan Jazuli tersebut didukung data yang menunjukkan bahwa 48,85% listrik nasional disedot sektor rumah tangga, baru sektor industri 32,44% dan sektor bisnis 18,23%. Selebihnya 7,48% tersebar di pelanggan sosial dan publik.

Fraksi PKS mengapresiasi capaian elektrifikasi Indonesia yang sudah mencapai 98,86% berdasarkan laporan Kementerian ESDM. Meski masih harus dicek betul data tersebut, mengingat banyak daerah yang masih mengeluhkan soal suplai listrik terutama di pelosok-pelosok. Jika capaian itu benar, Fraksi PKS memberi catatan dua hal penting:

Pertama, jangan hanya bangga atas capaian elektrifikasi, Fraksi PKS mendesak Pemerintah agar menjaga kualitas elektrifikasi agar suplai dan diatribusi listrik tetap terjaga dan stabil, jangan byar pet lagi terutama di daerah-daerah terpencil dan pelosok. Tanggung jawab pemerintah menjamin pasokan listrik agar tidak ada lagi daerah yang masih gelap gulita.

Kedua, soal tarif listrik, Fraksi PKS meminta agar semaksimal mungkin tidak ada kenaikan. Artinya pemerintah harus menjamin stabilitas harga yang terjangkau bagi masyarakat, termasuk subsidi bagi masyarakat miskin/tidak mampu.

Dua tantangan, lanjut Jazuli, yang harus dipikirkan ke depan: menyediakan listrik bagi masyarakat yang belum terlistriki dan menyediakan listrik murah bagi rakyat yang berpendapatan rendah. Untuk mengatasi hal itu, ke depan negara dan pemerintah harus kreatif dan inovatif mencari alternatif sumber energi yaitu dengan lebih cepat membangun energi terbarukan karena negara lain sudah memasang target: Uni Eropa porsi energi terbarukan 57% pada energi listrik di 2030, Cina 50% juga di 2030. Demikian juga AS, Australia, dan negara-negara ASEAN.

"Pemerintah harus kreatif dan inovatif menghadirkan sumber-sumber energi listrik terbarukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan harga yang terjangkau. Untuk itu perlu sinergitas kebijakan dalam perencanaan dan implementasi industri energi terbarukan. Pelibatan pihak swasta dan masyarakat dalam inovasi energi terbarukan perlu digalakkan mulai pengadaan hingga penjualan sehingga harga makin kompetitif dan kebutuhan energi terpenuhi. Sistem industri energi terbarukan ini hrus dirancang serius agar indonesia tidak ketinggalan dan yang terpenting dapat mengatasi kelangkaan energi di masa depan," tandas Jazuli.

Tolak Kenaikan Tarif Listrik: Ini Alasan Rasionalnya

Seperti kita tahu tarif listrik ada tarif subsidi untuk pelanggan 450 VA dan 900 VA (Non-Rumah Tangga Mampu) dan atau tarif non subsidi untuk pelanggan 900 VA (RTM) dan di atas 1300 VA. Kita minta ini tidak naik, bahkan meminta PLN untuk melakukan kalkulasi akurat atas pelanggan 900 VA (RTM) yang bisa jadi mereka banyak yang tergolong tidak mampu dan layak dapat subsidi.

Anggota Komisi I DPR ini mengatakan Fraksi PKS telah melakukan pendalaman dan kajian sehingga punya alasan kuat dan rasional agar tidak ada kenaikan tarif listrik.

Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, kebijakan kenaikan tarif listrik yang bakal diterapkan akan mendorong kenaikan laju inflasi nasional. Jikalau ada kenaikan, kebijakan tersebut tidak boleh terlalu signifikan demi memperkecil potensi gejolak inflasi. Karena bobot tarif listrik terhadap inflasi cukup besar sehingga pasti akan berpengaruh. Dampak turunannya, pertumbuhan ekonomi melambat, harga bahan bahan pokok akan tergerek naik, dan pada saat yang sama, kemampuan dan daya beli masyarakat juga sangat menurun.

Kedua, Pemerintah seharusnya memperbaiki database masyarakat miskin dan tidak mampu agar mendapatkan haknya terhadap akses energi. Belum tentu pelanggan listrik 900 VA yang termasuk kategori rumah tangga mampu (RTM) ini benar-benar tidak layak mendapatkan subsidi, karena di lapangan banyak ditemui mereka yang termasuk RTM juga masyarakat yang benar-benar miskin. Kerjasama antara Kementerian ESDM dan PLN dengan berbagai pihak terutama Kemensos dan juga BPS perlu diperkuat agar akurasi data yang tinggi dapat dicapai.

Ketiga, untuk menjamin keadilan dalam hal akses energi, maka pendaftaran pelanggan baru untuk golongan 450 VA dan 900 VA Non-RTM harus terus dibuka untuk mereka yang tergolong miskin dan tidak mampu. Hal ini sangat penting agar bisa tercapai keadilan bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu dalam menikmati listrik.

Keempat, kondisi perekonomian global justru mendukung pemerintah untuk menurunkan tarif listrik, dimana faktor-faktor pembentuk harga keekonomian listrik mengalami penurunan, seperti harga minyak bumi Indonesia (ICP), nilai tukar kurs rupiah dan tingkat inflasi. Hal ini harus dihitung matang-matang oleh pemerintah dan dibuka secara terang benderang ke publik agar kita semua bisa mengetahui perlu tidaknya pemerintah menaikkkan tarif listrik pada saat ini.

"Diskusi publik kali ini sengaja kita hadirkan untuk membuka dengan jelas dan transparan terkait dengan komponen pembentuk harga listrik tersebut yang berkorelasi dengan perlu tidaknya kenaikan tarif listrik, demi terciptanya keadilan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia," pungkas Jazuli.***