MEDAN-Pelayanan publik di enam pemerintah daerah (Pemda) di Sumatera Utara (Sumut) sangat buruk.

Hal itu berdasarkan hasil survey kepatuhan pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI Perwakilan Sumut Tahun 2019, keenam pemko/pemkab tersebut meraih predikat zona merah.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar, menjelaskan hal tersebut menjawab mitanews.co.id di ruang kerjanya, Jumat (6/12/2019).

Keenam pemkab/pemko yang meraih predikat zona merah atau belum patuh terhadap standar pelayanan publik sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik itu adalah, Pemkab Simalungun dengan nilai paling rendah yakni 9,25.

Disusul Pemkab Nias Selatan dengan nilai 16,82, Pemko Padangsidimpuan dengan nilai 31,81, Pemkab Labuhanbatu dengan nilai 35,39, Pemkab Asahan dengan nilai 42,83 dan terakhir adalah Pemkab Karo dengan nilai 47,20.

Sedang enam pemkab/pemko lainnya, sedikit lebih baik karena meraih predikat zona kuning atau tingkat kepatuhan sedang.

Keenam yang meraih predikat zona kuning tersebut adalah Pemkab Tapanuli Utara dengan nilai 61,00, Pemkab Tobasa dengan nilai 63,88, Pemko Tanjungbalai dengan nilai 68,52, Pemko Binjai (70,53), Pemko Tebingtinggi (79,77), Pemko Pematangsiantar (76,42).

Dari survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik yang dilakukan Ombudsman RI di 13 pemkab/pemko di Sumut tersebut, hanya satu yang meraih predikat zona hijau atau tingkat kepatuhan tinggi atau baik, yakni Pemkab Pakpak Bharat dengan nilai 86,21.

Survei kepatuhan terhadap standar pelayanan publik ini, dilakukan sejak Mei 2019 di 13 pemkab/pemko di Sumut.

Survei ini dilakukan untuk melihat tingkat kepatuhan pemerintah daerah terhadap standar pelayanan publik sesuai UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. "Cara melihat kepatuhannya adalah, dengan turun langsung di unit unit layanan publik yang ada di setiap Kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Yang kita lihat adalah, pemampangan (tangible) atributisasi standar pelayanan publik di ruang ruang layanan. Jadi, ini yang kita lihat," jelas Abyadi.

Sebab, lanjut Abyadi, menurut UU No 25 Tahun 2009, setiap penyelenggara pelayanan publik, wajib menyusun, menetapkan dan mempublikasi (memampangkan/tangible) atributisasi standar pelayanan publiknya. Dan di sisi lain, pemampangan standar pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan publik itu adalah hak masyarakat sebagai pengguna layanan. "Jadi, instansi pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun, menetapkan dan mempublikasi (memampangkan/tangible) atributisasi standar layanan publik. Sebab, hal itu adalah hak masyarakat sebagai pengguna layanan," jelas Abyadi Siregar.

Menanggapi hanya 1 dari 13 Pemkab/Pemko yang meraih zona hijau (kepatuhan tinggi/pelayanan baik), Abyadi menilai hal itu menjadi indikator buruknya komitmen kepala daerah memberi layanan yang baik kepada masyarakat yang dipimpinnya. "Jadi, kalau ditanya kenapa layanan publik mereka masih zona merah dan zona kuning, ya jawabnya karena komitmen kepala daerahnya untuk melayani masyarakatnya, masih sangat buruk. Sebab, survei ini adalah melihat potret penyelenggaraan pelayanan publik di daerah itu sendiri," tegas Abyadi.