JAKARTA – Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon turut mengucapkan selamat Hari Guru Nasional. Di momentum perayaan hari penghargaan guru se-nusantara ini, Fadli mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mensejahterakan para guru.

Pertanyaan Fadli, menyusul pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Nadiem Makariem, yang Ia nilai lebih banyak memberikan “arahan” ketimbang “penghargaan” kepada para guru.

Padahal, menurut Fadli, peringatan Hari Guru Nasional yang didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, bertujuan agar semua pihak terutama pemerintah, agar menghormati, mengapresiasi, dan meningkatkan kesejahteraan guru.

"Tentunya, ini patut menjadi pertanyaan kita bersama, kenapa isu kesejahteraan guru tidak ada dalam _public address_ Mendikbud?" kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/11/2019).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengingatkan, kunci pendidikan terletak pada kualitas tenaga pengajar. Dan hingga saat ini, pemerintah Ia nilai, belum secara serius mengatasi problem kesejahteraan guru, terutama guru honorer.

Indonesia saat ini, lanjut Fadli, bisa dikatakan mengalami darurat guru. Karena berdasarkan data Kemendikbud, guru PNS saat ini berjumlah 1,3 juta orang, sementara kebutuhan guru se-Indonesia mencapai 2.1 juta.

"Angka ini akan semakin meningkat, mengingat pada tahun ini terdapat 52 ribu guru PNS akan pensiun," tutur mantan Wakil Ketua DPR RI periode lalu itu.

Sebagian kekurangan tersebut, kata Fadli, telah dicoba untuk ditutupi dengan guru berstatus P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Dan sisanya, sebanyak 746.121 guru coba dipenuhi oleh pemerintah melalui guru honorer.

"Namun, keberadaan guru berstatus honorer, menurut saya, bukannya menyelesaikan masalah tapi justru memunculkan masalah baru, di mana kesejahteraan guru honorer ternyata masih sangat jauh dari layak," kata Fadli.

Ia mencontohkan, pada Juli lalu misalnya, Dunia Pendidikan Indonesia dikejutkan dengan kabar seorang guru di Pandeglang, Banten, yang hanya mendapat jatah honor Rp 350 ribu per bulan. Sang guru tersebut, terpaksa tinggal di toilet sekolah karena pendapatan yang jauh dari sejahtera itu.

Atau, lanjutnya, guru honorer di Samarinda yang sudah 10 tahun mengajar, namun bertahan dengan gaji Rp 800 ribu per bulan. "Kisah tersebut bisa jadi hanya fenomena gunung es saja. Realita di lapangan, tentunya lebih banyak lagi,".

"Catatan saya, pemerintah memang memiliki rencana untuk mengatasi problem tersebut. Tahun lalu, misalnya, pemerintah menyatakan akan mengangkat minimal 110 ribu guru honorer di seluruh Indonesia setiap tahunnya. Namun sayangya, rencana tersebut tidak didukung oleh komitmen yang kuat," kata Fadli.

Bulan lalu, lanjutnya, Menko Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy menyatakan tahun ini sebenarnya ada kuota 156 ribu pengangkatan guru PNS. "Tapi sayangnya, menurut pemerintah, kuota tersebut tak bisa dipenuhi lantaran banyak guru honorer tidak memenuhi syarat,".

"Jika sikap seperti itu yang selalu dikedepankan, menurut saya, pemerintah memang setengah hati memperhatikan guru honorer. Kalau kuota tersedia, dan secara real tenaga guru honorer juga dibutuhkan, kenapa statusnya untuk menjadi PNS dipersulit?" tukas Fadli.

Ia berpandangan, jika pemerintah serius dengan nasib guru honorer, semestinya ada prioritas yang lebih nampak. Jangan sampai, katanya, upaya para guru honorer mengubah nasib, dihambat hanya karena persyaratan administrasi dan test yang kerap bersifat formalitas, sementara negara tetap menggunakan mereka dengan kesejahteraan yang minim.

"Jika demikian, dimana letak apresiasi pemerintah terhadap nasib guru honorer? Guru honorer seperti dieksploitasi, padahal banyak dari mereka telah mengajar dan mendidik belasan bahkan puluhan tahun," kata Fadli.

Hari Guru tahun ini, Ia memungkasi, semestinya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyelesaikan problem kesejahteraan guru honorer yang kerap terkatung-katung.

"Bangsa yang abai terhadap guru, pasti akan sulit maju. Karena kualitas generasi penerus salah satunya ditentukan oleh bagaimana negara tersebut mengapresiasi profesi guru. Kualitas generasi harusnya sejalan dengan upaya memprioritaskan sumber daya manusia unggulan," demikian Fadli.***