JAKARTA - Diskursus evaluasi sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung terus bergulir. Seberapa berhasilnya model pemilihan ini dalam memajukan daerah, hingga dihapusnya jabatan gubernur menjadi pertanyaan serius jelang gelaran Pilkada 2020 mendatang.

Beberapa wakil rakyat pun mengutarakan pandangannya dalam diskusi yang digelar Koordinat Wartawan Parlemen di Kompleks DPR/MPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11/2019).

Dalam diskusi bertajuk "Bisakah Pilkada Majukan Daerah?" itu, anggota fraksi NasDem DPR RI, Ratu Wulla Talu berpendapat, bisa atau tidaknya Pilkada memajukan daerah, bergantung pada komiten personal individu yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan Pilkada Langsung, menurut Ratu, Pilkada Langsung bisa baik bagi kemajuan daerah, "karena pemimpin mendapat legitimasi langsung dari rakyatnya,". Meskipun, dampak negatif juga ada, yakni ketika Kepala Daerah yang terpilih, tak cukup kuat berkomitmen.

Anggota DPD RI, Abdul Rachman Thaha juga juga menyatakan hal senada. Menurutnya, Pilkada Langsung dapat membangun sebuah peradaban demokrasi, "jadi rakyat diberikan kebebasan untuk memilih pemimpinnya, menentukan pilihannya, dan kebebasan itu terpenuhi,".

"Sehingga kebatinan masyarakat merasa bahwa alam demokrasi betul-betul terbangun," kata Thaha.

Namun Thaha, juga menyoroti bahwa Pilkada Langsung terbukti rawan konflik, "konflik baik dari tingkat atas, menengah sampai ke bawah,". Plus, menguras anggaran daerah karena Anggaran Pembiayaan dan Belanja Daerah (APBD) banyak terkuras untuk membiayai Pilkada sesuai amanat UU Otonomi Daerah.

Sehingga menurut Thaha, Pilkada akan lebih baik jika dikembalikan ke DPRD atau diselenggarakan dengan pemilihan tak langsung. Dengan begitu, katanya, "kerawanan konflik dapat diminimalisir,".

"Budgeting anggaran itu juga terminimalisir, sehingga kandidat ke depan yang terpilih itu bisa langsung menyusun program-program yang ada sesuai dengan anggaran yang tersedia," kata Thaha.

Sementara terkait bergulirnya isu penghapusan jabatan Gubernur, Ratu Wulla Talu menyatakan tak sependapat karena meski bagaimana pun, Presiden membutuhkan tak sedikit bantuan dalam mengelola daerah.

Ia mencontohkan bagaimana tak mudahnya mengelola Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdiri dari sekira 23 Kabupaten/Kota.

"Kalau misalnya jabatan Gubernur dihapus, terus pemerintah pusat misalnya dari utusan Kemendagri hanya satu saja yang ada di daerah, ini bagaimana bisa mengurus sekian banyak daerah yang cukup luas dengan daerah kepulauan?" tandas Ratu.

Sehari sebelumnya, Mantan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah juga menyinggung soal jabatan Gubernur dan bagaimana metode pemihan yang tepat untuk turut mengakselarasi pembangunan daerah.

Fahri berpandangan, Pemilihan Gubernur bisa gunakan metode pemilihan tak langsung, guna menguatkan sistem presidensialisme dimana Kepala Negara mestinya cukup punya power dalam membangun daerah. Tidak seperti saat ini, dimana beberapa kepala daerah, menunjukkan egonya atas presiden karena merasa sama-sama dipilih secara langsung oleh rakyat.

"Jadi pemilihan secara langsungnya itu, turun ke Daerah Tingkat II (Kabupaten dan Kota, Red) dengan kepercayaan bahwa kita percaya bupati-bupati kita akan bisa lebih otonom," kata Fahri di Media Center DPR/DPD/MPR RI, Selasa (19/11/2019).***