MEDAN - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sumatera Utara meminta dan mengharapkan Menteri Kesehatan RI dr Terawan dan kepala daerah membuat terobosan agar dokter mau dan betah ditempatkan ke daerah.

Demikian disampaikan Ketua IDI Sumut, dr Edy Ardiansyah menjawab www.gosumut.com ketika dihubungi, Jumat (8/11/2019).

Disebutkan Edy, saat ini adalah pemberdayaan dokter spesialis. Di mana, Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis, usai dianulirnya Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis.

"Menkes dan kepala daerah harus membuat aturan agar dokter mau dan betah ke daerah. Lakukan percepatan dan bantuan agar anak daerah dapat sekolah spesialis," ungkapnya.

Dikutip dari detik.com, Mahkamah Agung (MA) mencoret kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebar para dokter spesialis hingga ke penjuru Nusantara. Jokowi terpaksa membuat Peraturan Presiden (Perpres) baru yang tidak lagi mewajibkan bagi dokter spesialis untuk berdinas hingga ke pelosok Papua, tapi hanya sukarela si dokter.

Keputusan MA mencoret kebijakan Jokowi itu seiring dengan diketoknya putusan Judicial Review Nomor 62 P/HUM/2018. MA menganulir Perpres Nomor 4 Tahun 2017 tentang Wajib Kerja Dokter Spesialis. MA beralasan wajib kerja merupakan bagian dari kerja paksa dan dilarang oleh UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO mengenai Penghapusan Kerja Paksa.

Sementara itu, Perpres yang baru tersebut, khsususnya dalam Pasal 4 poin 1 disebutkan bahwa Bupati/wali kota mengajukan usulan kebutuhan
dokter spesialis kepada gubernur melalui dinas kesehatan provinsi berdasarkan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Menteri.

Dilansir liputan6.com, Ketua PB IDI Daeng M Faqih menerangkan, aturan yang ditetapkan Mei 2019 berisikan dokter spesialis yang ditugaskan ke pelosok kini tidak bersifat wajib alias secara sukarela.

"Karena tidak diwajibkan lagi, makanya sedang mencari cara terbaik bagaimana distribusi dokter spesialis secara merata. Ada cara yang paling tepat," jelas dia.

"IDI sudah mengusulkan cara tepat kepada Kementerian Kesehatan melalui surat resmi. Cara tepatnya, yaitu program dokter spesialis sebaiknya ditujukan mayoritas atau seluruhnya (100 persen) diberikan lewat program beasiswa."

Daeng menegaskan, bila pemerataan dokter spesialis diberikan lewat program beasiswa, maka cara ini bersifat sukarela. Ketika dia diterima beasiswa, ada perjanjian untuk ditempatkan di suatu daerah pelosok.

"Kalau ada perjanjian kan tidak bersifat mewajibkan. Itu sukarela antara (siapa) yang dibiayai dan pemerintah atau lembaga lain yang mengeluarkan biaya program beasiswanya untuk ditempatkan di daerah-daerah yang kosong (dokter spesialis)," tegasnya.

Usulan IDI soal beasiswa dokter spesialis secara resmi dikirimkan kepada Kementerian Kesehatan setelah Mahkamah Agung membatalkan resmi program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) melalui peraturan MA Nomor 25 P/HUM/2018 pada Selasa (18/12/2018).

Adanya peraturan tersebut tidak lagi membuat dokter spesialis wajib bertugas ke pelosok. Sebagai gantinya, program dokter spesialis tetap berjalan, yang kini bernama program Pendayagunaan Dokter Spesialis.