JAKARTA - Sabang Merauke Circle menggelar diskusi publik yang mengevaluasi 2 tahun kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Rabu 16 Oktober 2019. Turut hadir menjadi pembicara diantaranya, Ahmad Yani (eks. Anggota Komisi III DPR RI), Fahira Idris (Anggota DPD RI), Oman Rohman Rahinda (Anggota DPRD DKI Jakarta), Chozin Amrullah (TGUPP) dan Jehansyah Siregar (Arsitektur ITB). Tampak juga Budayawan, Ridwan Saidi sebagai penanggap dalam diskusi itu.

Setelah diawali dengan sambutan dari Syahganda Nainggolan dari Sabang Merauke Circle, Anies mendapatkan kesempatan pertama untuk bicara, memaparkan kinerjanya selama 2 tahun memimpin Ibu Jakarta.

Anies mengutarakan, bahwa persoalan-persoalan yang terjadi di Jakarta bukanlah persoalan baru, melainkan persoalan lama yang terjadi lintas dekade. Sebagian dari persoalan itu, adalah persoalan mendasar, dan tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi DKI sendirian.

Cara penanganan masalah yang tak tuntas, dari masa ke masa menjadi sorotan Anies. Jakarta yang pada mula berdirinya diawali dari wilayah Jakarta Utara, kemudian bergeser ke arah selatan (Jakarta Pusat) karena persoalan di utara, kemudian bergeser ke luar karena Jakarta Pusat pun menyisakan persoalan. Teranyar, muncul rencana kuat untuk memindahkan Ibu Kota karena Jakarta yang penuh soal.

"Jadi banyak masalah di Jakarta itu tidak dibereskan, tetapi kita tinggalkan. Semoga diselesaikan generasi depan ini," kata Anies.

"(Dan ini, red) Tidak boleh terjadi! Jadi kami berencana mau membereskan masalah-masalah mendasar itu. Sebagian tidak mungkin bisa selesai dalam periode 5 tahun," imbuh mantan Menteri Pendidikan itu.

Persoalan mendasar pertama yang disebut Anies, adalah pemenuhan hak warga atas air bersih. Ia ingin, ke depan, warga Jakarta tidak perlu membayar untuk sekedar minum, karena minum adalah kebutuhan dasar. Jakarta, kata Anies, tengah berupaya untuk mengambil alih pengelolaan air dari pihak swasta.

"Air diswastakan sejak tahun 1997. Janjinya bisa tercapai 82 persen di tahun 2023. Sekarang baru tercapai 82 persen dari 45 persen di tahun 1997. Jadi selama ini sudah jalan 22 tahun (dikelola swasta, red) meningkatnya hanya sekedar 17 persen," tukas Anies.

Persoalan mendasar berikutnya adalah, kolaborasi atau gotong royong dalam menangani persoalan-persoalan di DKI Jakarta. Ia mencontohkan, di bidang transportasi, kini Jakarta telah memiliki Jak Lingko, sebagai buah karya kolaborasi antara Pemprov, Operator Transportasi dan Masyarakat.

Dengan Jak Lingko, pendapatan bulanan para sopir menjadi terjamin dan angka jumlah pengguna transportasi umum meningkat 2 kali lipat. Dalam waktu 13 tahun dari 2004-2017, kata Anies, tercapai Rp13.000 jiwa pengguna.

"Setelah dibangun ekosistem yang sehat dan kolaborasi, dalam waktu 2 tahun, melonjak menjadi 640.000 penumpang," klaim Anies.

Kolaborasi di DKI juga diterapkan dalam upaya membangun pemukiman-pemukiman kumuh. Kampung Akuarium yang berantakan dan pembangunan kampung-kampung lainnya di Jakarta, tidak dibangun dengan ego pemerintah.

"Kami datang bawa rencana. Yang kedua, undang pihak ketiga untuk menjadi mediator. Jadi kami di sini sebagai fasilitator. Duduk sama-sama, merancang kampungnya bersama-sama," kata Anies. Tak berhenti di perencanaan, "sampai pelaksanaannya pun mereka terlibat dalam proses pembangunannya,".

Soal mendasar lainnya, adalah hilangnya spirit gerakan dalam pemerintahan. Padahal, sejarah mencatat-setidaknya soal pemberantasan buta huruf yang dimulai Bung Karno pada tahun 1948. Berhasil karena model kerja "gerakan".

"Gerakan bukan dalam arti gerakan politik tapi perasaan-perasaan kebersamaan dalam membangun ini yang mau kita kembalikan,"

Berhasilnya agenda nasional "Usaha Pemberantasan Buta Huruf", dikisahkan Anies, berhasil karena Bung Karno mengajak seluruh pihak untuk bergerak bersama. Sehingga Bung Karno tak pernah diasosiasikan sebagai Tokoh Pemberantas Buta Huruf.

"Bantulah Usaha Pemberantasan Buta Huruf!" menjadi kalimat unik yang disorot oleh Anies. Kalimat itu terpampang di latar foto Bung Karno kala mengajarkan rakyat membaca.

"Pernahkah melihat pemerintah hari ini mulai slogan dengan kata 'bantulah'? Enggak ada! Sekarang Jakarta mengatakan, bantulah kami untuk membereskan maalah yang ada di jakarta. Bukan dalam artian kita melepas tangan, bukan. 'Bantulah' itu, justru kita mengajak semua terlibat," kata Anies.

Pola gerakan ini juga tak lepas dari model kerja kolaboratif yang diterapkan Pemprov DKI. Pada pembangunan infrastruktur transportasi DKI yang melibatkan anak-anak muda dari forum diskusi transportasi Jakarta, semisal halte bus di DKI yang sudah dilengkapi peta jalur dan unit tranportasi umumnya, DKI tak mengklaim itu sebagai hasil karya DKI.

"Jadi kami di Jakarta, pendekatannya itu. Kita melakukan banyak hal dengan pola gerakan. Apa efeknya dari pola gerakan itu? Kreditnya tidak diambil oleh pemimpinnya," kata Anies.

Jakarta, dijelaskan Anies, juga tengah berupaya memberi rasa keadilan warga Jakarta dengan tidak menaikkan PBB rumah tinggal. Karena PBB residensial yang selama ini terus naik, dinilai Anies "adalah pengusiran secara sopan," dari bumi betawi.

Khusus untuk para pensiunan PNS, pensiunan purnawirawan TNI-Polri, penerima bintang Mahaputra atau bintang-bintang presiden, guru, dosen, DKI tidak membebankan mereka atas pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk rumah tinggal mereka di Jakarta.

"Jadi sekarang, pensiunan PNS, pensiunan purnawirawan TNI-Polri, penerima bintang Mahaputra atau bintang-bintang presien, guru, dosen dibebaskan pajak PBB.***