MEDAN-Ombudsman menyampaikan persoalan sengketa lahan di Sarirejo kepada Tim Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).

Selain itu, Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara (Sumut) juga menyampaikan beberapa isu lokal di Sumut yang berpotensi berdampak pada persoalan Polhukam.

Dalam kaitan beberapa persoalan tersebut, jika pemerintah tidak segera menyelesaikannya, maka akan menjadi ‘bom waktu’ yang sewaktu waktu bisa ‘meledak’ dan mengganggu stabilitas. Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut Abyadi Siregar menjelaskan itu kepada Tim Kemenko Polhukam yang melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Ombudsman RI Perwakilan Sumut, pada hari Kamis 10 Okteober 2019.

Ketiga isu lokal tersebut, lanjut Abyadi adalah pertama, masalah lahan eks HGU PTPN-II. Meski kasus ini sudah cukup lama, tapi pemerintah belum juga berhasil menyelesaikannya. Abyadi menilai, ada kebijakan yang tidak adil dalam proses penyelesaian kasus ini. Proses penyelesaian yang dilakukan bukan untuk menyelesaikan masalah. Tapi justru membuat masalah kian rumit. "Yang membuat lahan eks HGU ini menjadi masalah, kan karena tanah tersebut sudah banyak menjadi kawasan pemukiman masyarakat yang padat dan kompak. Puluhan ribu jiwa penduduk menempatinya. Ini masalahnya," ujar Abyadi dalam keterangan tertulisnya yang diterima GoSumut, Sabtu, (12/10/2019).

Tentu kondisi tersebut akibat tingginya kebutuhan masyarakat atas tanah untuk pemukiman. Sementara, di sisi lain, masyarakat tidak memiliki kemampuan membeli tanah resmi untuk pertapakan rumahnya. Masyarakat hanya mampu menjangkau membeli tanah di eks HGU. "Ini faktor penyebabnya," jelas Abyadi.

Tapi kemudian, lahan lahan eks HGU itu justeru diberikan kepada segelintir pengusaha. Ironisnya, jumlahnya cukup luas. Sementara masyarakat yang sudah membentuk tatanan sosial yang padat dan kompak dalam sebuah pemukiman, justeru tidak diberikan. "Penyelesaian masalah seperti ini kan justeru memperumit masalah. Bukan menyelesaikan masalah," terang Abyadi.

Abyadi mencontohkan, tidak sedikit lahan eks HGU tersebut kini telah berubah menjadi kawasan perumahan mewah, komplek pertokoan elit. Intinya, lahan eks HGU itu dilepas kepada beberapa orang pengusaha. "Jadi, lahan eks HGU itu dilepas kepada pengusaha untuk semakin memperkaya pengusaha itu sendiri. Itu yang terjadi," kata Abyadi Siregar.

Masalah kedua, lanjut Abyadi, adalah, kasus sekitar 260 hektar lahan pemukiman di Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Medan Polonia.

Lahan ini juga sudah menjadi kawasan pemukiman yang padat dan kompak. Puluhan tahun masyarakat tinggal di kawasan itu. Saat ini, setidaknya sekitar 4000-an Kepala Keluarga (KK) penduduk tinggal di kawasan itu. "Tapi mereka sama sekali tidak bisa mengurus sertifikat hak milik. Sebab, TNI AU menyatakan sebagai pemilik lahan pemukiman puluhan ribu jiwa penduduk itu. Sementara, lahan di sekitar kawasan itu, kini sudah menjadi kawasan pertokoan mewah," jelas Abyadi.

Ketiga adalah, masalah layanan layanan publik yang berdampak langsung pada masyarakat secara luas. Sebut misalnya, layanan pengurusan indentitas kependudukan (KTP Elektronik).

Ini menjadi masalah besar, karena ketidakpunyaan KTP, secara langsung akan mengakibatkan sulitnya mengakses layanan layanan lainnya. Atau tidak bisa mendapatkan fasilitas fasilitas negara lainnya.

Bagi masyarakat miskin misalnya, yang tidak punya KTP, maka dipastikan tidak akan mendapatkan beragam fasilitas pemerintah untuk masyarakat miskin. Seperti mendapatkan fasilitas program Keluarga Harapan (PKH), dan sebagainya. "Bayangkan, berapa juta masyarakat miskin di Indonesia. Ini juga penyebabnya, penyaluran dana dana untuk orang miskin, tidak tepat sasaran," tegas Abyadi.

Abyadi menegaskan, ketiga masalah ini, berpotensi berdampak pada persoalan politik, hukum dan keamanan. Ini adalah ‘bom waktu’ yang bila tidak ada langkah-langkah penyelesaian secara cepat, maka kelak akan ‘meledak’ dan sulit dikendalikan. “Kalau tidak ada penyelesaian, berarti tinggal menunggu waktu saja meledak. Tentu ini tidak kita inginkan,” tegasnya lagi.

Sejalan dengan itu, Abyadi berharap Kemenko Polhukam terlibat dalam proses penyelesaian masalah ini.

Karena ketika kasus di Sumut ini juga berpotensi menciptakan instabilitas di Indonesia. Menanggapi hal itu, Asdep Koordinasi Peningkatan Pelayanan Publik Agung Prastitho M.Si yang memimpin Kunker Tim Kemenko Polhukam itu, berjanji akan menyampaikan ketiga hal ini kepada Menko Polhukam Wiranto.

Agung mengatakan, ketiga kasus ini harus diselesaikan dengan rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Kasus lahan PTPN misalnya, bisa dilakukan rapat koordinasi dengan Meneg BUMN, Menkeu, PTPN, Pemerintah daerah dan sebagainya.

Sementara soal 260 hektar tanah pemukiman puluhan ribu masyarakat Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, akan dikoordinasikan dengan Panglima TNI, KSAU, Menkeu dan sebagainya.