MEDAN-Banyak yang terkejut melihat keterlibatan sekelompok remaja yang jauh lebih militan dibandingkan dengan mahasiswa. Mereka adalah anak-anak STM, mereka lebih senang disebut STM yang terkesan lebih macho dibandingkan sebagai murid SMK yang sering diasosiasikan dengan kendaraan politik saat ini.

Meski dipandang dengan kebiasaan buruk mereka yang melakukan tawuran ini menjadikan mereka pribadi yang lebih militan. Keterlibatan para remaja di bawah umur yang bahkan banyak yang belum memiliki hak pilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) ini menimbulkan pertanyaan besar yaitu apa yang menyebabkan mereka mau terlibat dalam demonstrasi kemarin.

Menurut Psikolog Dra Irna Minauli, jika dilihat dari generasi kelahirannya maka anak-anak pelajar ini termasuk dalam generasi millennial. Mereka terlahir sebagai digital native, sehingga sebagian kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh digital.

"Jika dilihat secara inteligensi, mereka yang memiliki kecerdasan yang baik cenderung akan memilih Twitter dibandingkan dengan media sosial lainnya. Remaja yang mengikuti Twitter akan lebih update dalam masalah keseharian dan politik karena mereka akan disuguhi dengan apa yang sedang menjadi trending topic. Hal inilah yang membuat minat remaja terhadap politik menjadi semakin berkembang," terangnya, Sabtu (28/9/2019).

Sehingga bisa dinilai bahwa remaja yang sering ikut menandatangani petisi yang banyak dilakukan di media sosial, juga memiliki ketertarikan terhadap politik dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah menandatangani petisi.

Selain dari pengaruh media sosial, maka peran dari sekolah juga sangat mempengaruhi minat remaja terhadap politik. Sekolah-sekolah yang menyediakan mata pelajaran semacam PPKN atau pendidikan kewarganegaraan lain, terlebih jika guru memberi tugas yang mengharuskan siswa mencari materi yang sedang hits, serta mendiskusikan di dalam kelas, membuat remaja lebih peduli terhadap politik.

"Pada dasarnya remaja mulai mengembangkan ketertarikan pada politik karena mereka menyadari dan merasakan dampak dari kehidupan politik. Dalam kondisi sosial ekonomi yang sulit seperti saat ini, mereka mungkin merasakan bahwa uang jajan yang mereka terima dari orangtua tidak lagi bisa membeli sebanyak yang bisa mereka beli sebelumnya," jelasnya.

Namun, pada kasus anak-anak STM ini tampaknya pengaruh WhatsApp Group (WAG) sangat berperan dan mereka berkoordinasi melalui WAG. Saat ini peran WAG sangat masif dalam memberitakan berbagai hal yang berkaitan dengan politik. Remaja yang terlibat dalam kelompok WAG yang heterogen akan lebih mudah dalam melihat politik dari berbagai perspektif. Sementara itu para remaja yang tergabung dalam kelompok aliran politik yang homogen akan memiliki identitas aliansi politik yang lebih jelas.

"Selain itu, pengaruh para influencer muda yang berbicara masalah politik juga turut mempengaruhi kepedulian remaja terhadap politik saat ini," pungkasnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Associated Press pada tahun 2016 tentang keterlibatan remaja dalam politik menemukan hal-hal menarik. Dijelaskan Direktur Biro Minauli Consulting ini bahwa remaja yang aktif dalam lebih dari 6 media sosial maka kepedulian mereka dalam politik menjadi lebih besar. "Terutama pengguna Twitter yang memiliki kepedulian yang lebih besar, kemudian disusul dengan pengguna Instagram. Para remaja pengguna Facebook dan Snapchat sepertinya tidak terlalu memperlihatkan kepedulian pada politik," tutupnya.*