JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko mengaku, sebagai perpanjangan tangan Istana dirinya telah meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk memasukkan RUU PKS sebagai salah satu target yang harus diselesaikan bersama dengan DPR sebelum Oktober 2019. Dalam siaran tertulisnya pada Senin (16/09/2019), Moeldoko mengatakan, sinkronisasi terhadap Daftar Inventaris Masalah (DIM) sudah diselesaikan pemerintah. Sehingga, pemerintah akan berusaha maksimal untuk menetapkan RUU ini menjadi undang-undang dalam waktu yang singkat.

Menurut Moeldoko, RUU PKS penting didorong pengesahannya untuk memberikan tindakan pencegahan terjadinya kekerasan seksual, dan memastikan tindak kekerasan seksual tak terulang.

Mengutip tempo.co, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana menuturkan, terdapat kampanye negatif atas RUU PKS yang sangat masif. Misalnya, dia menyebutkan ada tudingan RUU PKS akan melegalkan praktek zina dan perilaku LGBT. Padahal, tak ada satu pasal pun dalam RUU PKS yang menyatakan zina diperbolehkan.

"Tuduhan dan informasi semacam itu sangat tidak logis dan tidak berdasar," ujar Azriana.

Selain itu, RUU juga dituding akan meningkatkan penyakit HIV-AIDS di Indonesia. Padahal, RUU ini justru melindungi perempuan terhadap otoritas tubuhnya, sekaligus otonominya sebagai manusia dan menjadi bagian dari penghargaan atas diri perempuan sebagai manusia.

Menurut Azriana, jika RUU PKS ini disahkan, dapat mengubah praktek impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, dan mengubah budaya kekerasan yang berurat akar selama puluhan tahun dalam kesadaran masyarakat.

RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR kepada pemerintah untuk dibahas. Tujuan RUU ini dibuat untuk memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Selama ini, kasus-kasus kekerasan seksual sulit diselesaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana biasa.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan 5 bukti yang dapat dijadikan materi dalam sidang pengadilan pidana, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. RUU PKS kemudian memasukkan alat bukti tambahan antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, pemeriksaan rekening bank.

Dengan adanya alat bukti tambahan ini, korban mendapatkan peluang untuk mendapat keadilan sebagai pemenuhan syarat pembuktian.

RUU PKS juga membantu pemulihan kepada korban sebelum dan selama proses peradilan serta setelah proses peradilan. Sehingga, korban yang mengalami kekerasan seksual dapat terhindar dari dampak serius dan traumatik sepanjang hidupnya. Selama ini, dalam banyak kasus, korban-korban kekerasan seksual justru memilih melakukan bunuh diri.***