JAKARTA - Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi kelompok aktifis kesehatan menyerukan agar Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Nila F Moeloek segera melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS termasuk pelaksananya.

Hal ini, sebut Direktur Eksekutif IAC, Aditya Wardhana, dilatarbelakangi rendahnya angka pengobatan. Di mana, cakupan pengobatan AIDS atau pengobatan ARV di Indonesia tercatat hanya 17% dan angka ini adalah yang terburuk di regional Asia Pacific bahkan Dunia.

“Dengan hanya 17% cakupan obat ARV, tidak heran jika angka kematian akibat AIDS berdasarkan permodelan akan terus meningkat sampai dengan 2020 nanti,” kata Adit, dalam siaran pers yang diterima, Minggu (15/9/2019).

"Dengan hanya ada sekitar 140 ribu orang dengan HIV yang berada dalam pengobatan ARV artinya ada 500.000 ribu lainnya masih belum ada dalam pengobatan – bahkan masih belum mengetahui dirinya terinfeksi HIV," bebernya.

Capaian yang yang buruk ini, kata dia, dipengaruhi oleh banyak faktor. Namun yang utama adalah kurangnya political will dari pemerintah dan layanan untuk memberlakukan Test and Treat, keterlambatan dalam mengadopsi pembelajaran terbaik dari negara lain yang nyata-nyata mendukung program AIDS, masih tingginya stigma dan diskriminasi kepada kelompok terdampak AIDS seperti orang dengan HIV, pekerja seks, LGBT, pengguna narkotika, perempuan dan anak sampai dengan mahalnya harga obat ARV yang dibeli oleh pemerintah Indonesia dari industri farmasi BUMN.

UNAIDS, sebagai badan PBB yang bertanggung jawab untuk program AIDS, telah membuat sebuah permodelan dimana diestimasikan kematian akibat AIDS akan meningkat dari 45 ribu di tahun 2018 menjadi 48 ribu di tahun 2020 dan angka ini akan terus meningkat seiring dengan rendahnya cakupan ARV pada ODHA.

IAC menilai, angka ini adalah sebuah tanda bahaya bagi Indonesia, sebab dengan angka cakupan ARV yang rendah ini, potensi penularan juga akan menjadi tinggi karena obat ARV selama ini diyakini secara ilmiah mampu mencegah penularan HIV baru.

Masih banyak prosedur yang dijalankan oleh layanan kesehatan sebelum memberikan obat ARV kepada ODHA diyakini juga turut menjadi pemicu rendahnya cakupan pengobatan ARV ini.

“Begitu tahu status HIVnya, seharusnya berdasarkan evidence global, ODHA itu bisa langsung diberikan obat ARV namun dalam faktanya, ODHA masih diminta untuk melakukan tes-tes penyerta lain sebelum bisa diberikan obat ARV sementara semestinya tes-tes ini bisa dilakukan belakangan,” ungkap Sabam Manalu, Kordinator Advokasi dan Hak Asasi Manusia IAC.

ODHA di Indonesia sendiri tergolong sebagai ODHA yang kurang beruntung di dunia sebab pengobatan ARV yang diberikan pada ODHA masih menggunakan jenis-jenis regimen obat ARV yang jadul.

“Masih banyak ODHA yang diberikan obat-obatan ARV dari jenis regimen AZT sementara kita tahu AZT sendiri telah dipergunakan sejak tahun 1960-an sebagai obat kanker dan telah digunakan sebagai terapi HIV di tahun-tahun awal epidemi AIDS ditemukan di dunia tahun 1980-an sementara saat ini telah ada obat-obatan baru yang berdaya kerja tinggi seperti Dolutegravir namun belum diperkenalkan di Indonesia,” tambah Aditya yang juga biasa dipanggil Edo.

Obat ARV jenis Dolutegravir ini selain lebih ampuh karena bisa lebih cepat memulihkan kondisi kesehatan ODHA, juga harganya jauh lebih murah dibanding obat-obatan ARV yang saat ini digunakan dan dibeli oleh Kementerian Kesehatan.

Dalam pertemuan Fast Track Cities minggu lalu yang diselenggarakan di London, banyak kota di dunia yang telah melaporkan keberhasilan mereka dalam cakupan obat ARV ini sampai berhasil memberikan pengobatan ARV kepada sebesar 90% dari total orang dengan HIV di wilayahnya seperti kota London, Amsterdam, Manchester dan Brighton.
Berdasarkan data yang dilaporkan kepada UNAIDS, ada 16 kota yang telah sukses mencapai target 90% ODHA dalam pengobatan sementara Jakarta masih tertinggal jauh terbelakang dengan angka yang terburuk di Asia. Bahkan negara seperti India saja melaporkan telah berhasil memberikan obat ARV kepada 1,2 juta ODHA di negaranya dan Cambodia telah berhasil mencapai target 90% angka pengobatan ARV dengan memberikan ARV kepada 62 ribu ODHA dari total 67 ribu ODHA yang ada di Cambodia.

Pemerintahan Jokowi sendiri dalam rancangan teknokratik RPJMN 2019-2024 dengan percaya diri memberikan target bisa menurunkan angka insiden penularan HIV baru dari 0,24% menjadi 0,18%.

“Kami yakin bahwa Indonesia akan gagal mencapai target RPJMN mendatang yaitu penurunan angka penularan HIV baru ini jika berkaca pada buruknya cakupan pengobatan ARV sekarang,” tambah Aditya.

Oleh karena itu, pemerintah harus segara melakukan audit program jika masih ingin on-track dalam mencapai target RPJMN mendatang.

Terhadap pemerintah baru yang nanti akan dibentuk oleh pemerintah Jokowi-Amien, IAC menghimbau agar Menteri Kesehatan sesegera mungkin melakukan audit menyeluruh terhadap program penanggulangan AIDS. Hal ini sangat diperlukan agar pemerintahan yang baru nanti bisa mengambil langkah-langkah cepat penyelamatan sehingga angka kematian ODHA akibat AIDS bisa terkoreksi menjadi lebih rendah.

Selain itu, IAC juga menghimbau kepada pemerintah untuk bekerja lebih serius dalam menurunkan harga obat ARV sebab ODHA yang membutuhkan obat ARV ini masih banyak.

“Dengan tingginya harga obat ARV seperti sekarang ini, tahun 2019 pemerintah harus menganggarkan dana sebanyak 1,2 trilyun hanya untuk memberikan pengobatan ARV pada 150 ODHA sementara berdasarkan hitungan kami, harga yang rasional itu hanya 40% dari tingkat harga yang sekarang,” Kata Aditya.

IAC meminta kepada Menteri Kesehatan dan juga kepada pemerintahan yang baru Jokowi-Amin agar membuka ruang pelibatan dari ODHA sebagai penentu kebijakan program AIDS mendatang karena di banyak negara, keterlibatan ODHA dalam level tertinggi di program penanggulangan AIDS telah terbukti mampu memberikan masukan-masukan yang membumi dan dibutuhkan dalam memberikan daya ungkit keberhasilan program penanggulangan AIDS. Di banyak negara, ODHA sudah bukan lagi sekedar dijadikan obyek namun sudah menjadi decision maker dalam program penanggulangan AIDS di pemerintahan.