JAKARTA - Uji kelayakan dan kepatutan terhadap 10 calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, saat ini masih terus berlangsung di Komisi III DPR RI. Hingga sore ini, pihak Komisi III DPR RI belum menentukan pilihan lima dari 10 capim yang lulus uji kelayakan dan kepatutan.

Bahkan salahsatu Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu, masih merahasiakan siapa saja kelima nama yang akan dipilih Komisi III untuk mengisi lembaga anti korupsi itu.

Politikus PDI Perjuangan ini juga belum mau berbicara soal rumor yang beredar bahwa lima Capim KPK yang diuji kelayakan dan kepatutan pada hari kedua merupakan komposisi yang akan dipilih nanti malam.

"Belum (diputuskan), diantara beberapa nama ini akan disepakati, iya," kata Masinton saat menjadi pembicara diskusi, di Komplek Parlemen, Senayan, Kamis (12/9/2019).

Untuk diketahui, pada hari kedua uji kelayakan dan kepatutan diikuti lima Capim KPK, yakni, Alexander Marwata, Johanis Tanak, Luthfi Jayadi Kurniawan, Firli Bahuri dan Roby Arya.

Soal figur Firli Bahuri yang merupakan salah satu kandidat kuat Capim KPK, legislator fraksi PDIP itu tidak mau bicara. Masinton hanya mengungkapkan bahwa sosok jenderal bintang dua itu memiliki prestasi yang cukup mempuni dalam karirnya selama ini.

"Kan belum kita uji, tapi kalau dilihat dari rekam jejak beliau, selama di kepolisian, di KPK (Deputi bidang Penindakan), dan kemarin sebagai Kapolda, bagus," kata dia.

Termasuk, saat Firli Bahuri sempat keceplosan kepada awak media mengenai sikapnya terhadap revisi Undang-Undang tentang KPK bahwa dirinya baru akan menjelaskan ketika sudah menjadi ketua KPK, sebagai sinyal kuat?.

"Kita akan lihat saja nanti, kan sedang diuji sekarang," kata dia.

Namun yang jelas kata Masinton, calon pimpinan KPK periode 2019—2023 akan menghadapi persoalan besar yang ada di internal lembaga tersebut, misalnya penentuan status tersangka berdasarkan pemungutan suara di tingkat pimpinan.

"Tugas capim KPK ke depan, dia harus menyadari ada persoalan besar di KPK, yaitu internal. Tidak mungkin bisa bekerja baik kalau internalnya tidak benar," kata Masinton.

Masinton mencontohkan oknum pimpinan, penasihat, dan juru bicara KPK menyampaikan persoalan dugaan pelanggaran etik Firli Bahuri. Namun, Komisi III DPR telah mengonfirmasi kepada anggota KPK Alexander Marwata.

"Tadi Komisi III DPR menanyakan tentang konferensi pers terhadap mantan Deputi Penindakan KPK, ternyata tidak melalui mekanisme yang berlaku di KPK. Bahkan, tiga pimpinan KPK yang lain tidak tahu ada konferensi pers tersebut," ujarnya.

Masinton mengatakan bahwa di internal KPK juga terdapat friksi-friksi, itu terkonfirmasi dari pernyataan Alexander Marwata bahwa sebuah perkara diputuskan berdasarkan pemungutan suara di tingkat pimpinan KPK.

Menurut dia, seharusnya menyangkut nasib dan status hukum seseorang, tidak boleh diputuskan berdasarkan voting, tetapi harus objektif melihatnya yaitu alat bukti yang dicari.

"Itu fungsinya penyelidikan dan penyidikan, menyiapkan alat bukti bukan voting. Itu menampakan beberapa asas dalam penyidikan dan penyelidikan tidak dipatuhi secara hukum acara," ujarnya.

Politikus PDIP itu menilai tidak boleh menentukan status tersangka seseorang berdasarkan voting atau suara terbanyak. Kalau itu dilakukan, mencerminkan bobroknya kondisi di internal KPK namun dipersepsikan baik kepada publik.***