TOBASA-Tingginya angka kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Tobasa dengan peristiwa secara beruntun ditanggapi Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak kalau Kabupaten Toba Samosir masuk dalam kategori darurat kekerasan terhadap anak setelah Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara,Kab. Humbang Hasundutan, Kab. Tapanuli Tengah dan Kab. Samosir.

Kepada Gosumut Arist Merdeka Sirait Rabu, (11/9/2019) via wa selulernya menyebutkan bahwa dalam kurun waktu Januari - Juni 2019 berdasarkan data yang diperoleh data kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dan dikumpulkan dari 145 kasus pelanggaran terhadap anak di wilayah kabupaten Tobasa 52% didominasi oleh kejahatan seksual, dan 42% selebihnya kasus-kasus pelanggaran terhadap anak seperti eksploitasi ekonomi, seksual, penculikan dan perdagangan anak, kejahatan kejahatan seksual, serta anak dengan HIV/ AIDS yang telah menelan puluhan korban anak-anak akibat terpapar HIV AIDS.

Dari angka ini ditemukan pula sebarannya merata baik di desa, Kecamatan maupun kota. "Dan para predatornya adalah orang-orang yang berada dilingkungan terdekat anak yakni ayah kandung maupun tiri, abang, kerabat dekat keluarga, paman, kakek, guru, baik guru reguler maupun non reguler, teman sebaya anak, tetangga, pedagang keliling antar kampung dan kelurahan serta kerabat dari orang tua," ujar Arist.

Sementara lingkungan sosial anak, ruang publik dan tempat bermain anak serta pondok-pondok dan panti-panti juga tidak aman lagi bagi anak-anak dari ancaman kekerasan.

Lebih lanjut Arist Merdeka menjelaskan temuannya di Tobasa bahwa angka kejahatan seksual terhadap anak ini akan terus bertambah jika Pemerintah Kabupaten Tobasa, Tapanuli Utara, Selatan dan Tengah, Humbanghas, Simalungun dan Kabupaten Samosir masyarakat, jemaat san gereja, alim ulami dan para pemangku kepentingan perlindungan anak tidak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini dan membiarkan kasus pelanggaran hak anak serta kejahatan seksual terhadap anak terus-menerus terjadi dan dibiarkan termasuk membiarkan anak-anak terpapar HIV AIDS, korban perdagangan dan perlakuan salah lainnya, tidaklah berlebihan jika Pemerintah Kabupaten Tobasa dan pemerintahan Kabupaten lainnya dinilai gagal paham terhadap gerakan perlindungan anak.

"Oleh sebab itulah pemerintah perlu mengevaluasi ulang program dan aktivitas masing-masing Dinas PPPA/KB dan lintas Dinas lainnya serta julukan Kabupaten Tobasa sebagai Kota religius dan berbudaya sementara kasus-kasus pelanggaran anak terus terjadi dan terus dan terus dibiarkann terjadi dan tidak bisa dihentikan," kata Arist.

Lebih lanjut Ia menjelaskan untuk mengurangi pelanggaran hak anak di Kabupaten Tobasa sudah saatnya pemerintah melalui program dinas PP dan KB Tobasa mencanang Tobasa Darurat Kekerasan Terhadap Anak dan mendorong partisipasi masyarakat aktif dan progresif serta berkelanjutan di masing-masing kampung dan desa membangun Gerakan Perlindungan Anak se-kampung atau se-desa yang diintegrasikan dengan program pemberdayaan desa dan mewajibkan para kepala desa untuk segera mengeluarkan peraturan Desa (Perdes) tentang perlindungan anak dan perempuan untuk mengikat komitmen dan partisipasi masyarakat sekampung dalam upaya perlindungan anak.

Disamping itu, Komnas Perlindungan Anak yang bertugas dan berfungsi memberikan pembelaan, dan perlindungan bagi anak di Indonesia menyampaikan kepada pemerintah Tobasa untuk terus mengingatkan peran serta masyarakat betapa pentingnya anak di Tobasa terbebas dan diselamatkan dari segala bentuk esploitasi, penelantaran, kekerasan, prnganiayaan dan diskriminasi juga dari bahaya narkoba, pornografi dan pornoaksi serta serta anak dengan HIV/Aids.

Masyatakat Tobasa tidak boleh diam diam dan cuek terhadap pelanggaran hak anak. "Masyarakat dan pemerintahan Tobasa alim ulama, tokoh adat, gereja dan pemangku kepentingan perlindungan anak, aparatus penegak hukum dan media, harus bahu membahu melawan kejahatan terhadap anak, dengan demikian tidaklah berlebihan jika Komnas Perlindungan Anak memandang perlu mendesak dan mendorong semua "stakeholder"atau pemangku kepentingan perlindungan anak, termasuk orangtua dan masyarakat, tokoh agama, alim ulama, media, dan kalangan akademisi serta para pemuda dan pelajar di wilayah hukum TOBASA membangun kembali komitmen melawan dan menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap anak dilingkungan sekolah rumah dan lingkungan sosial anak lainnya.

"Ayo kita minta pemerintah berperan sebagai motor pergerakan perlindungan anak dan menjadikan masalah anak menjadi masalah prioritas. Karena pada kenyataannya anak sungguh membutuhkan pertolongan dari eksekutif, legislatif alim ulama, tokoh masyarakat bahkan gereja, demikian juga para anggota dewan bersama tokoh adat dan pemangku kepentingan Perlindungan Anak wajib membangun dan menghidupkan kembali Sistem Kekerabatan yang yang ada dalam masyarakat yang selama ini sudah mulai puna yakni "Anakmu adalah Anakku, Cucumu juga Cucuku" atau dalam pilosofi Batak "Sisada Anak, Sisada Boru,"imbuhnya.

"Dengan menghidupkan kembali Sistem Kekerabatan di tengah-tengah kehidupan masyarakat diharapkann semua anggota masyarakat dapat saling menjaga, menghormati serta melindungi anak di sekitarnya. Dengan demikian kampung atau desa menjadi peduli dan ramah terhadap anak," demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait putra Lumban Sirait Porsea atas komitmennya membangun Gerakan Perlindungan Anak berbasis se- kampung berbasis sistim kekerabatan di wilayah Tobasa.*