JAKARTA - Perselisihan antara Fahri Hamzah dengan lima elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang berujung dengan dikabulkannya gugatan Fahri Hamzah berupa sita harta para elite PKS sebesar Rp30 miliar oleh pihak pengadilan, hingga saat ini masih dalam proses verifikasi dari pengadilan. Demikian disampaikan lawyer Fahri Hamzah, Slamet Hasan, saat dihubungi wartawan, (3/9/2019) di Jakarta.

Dimana lima elite PKS yang bermasalah dengan Fahri Hamzah yakni Presiden PKS Sohibul, Ketua Dewan Syariah Surahman Hidayat, Wakil Ketua Dewan Syuroh Hidayat Nur Wahid, Abdul Muis dan Abdi Sumaithi.

"Saat ini masih melengkapi verifikasi dari pengadilan. Nah waktunya kapan, dalam hukum acara tidak diatur secara limitatif, tergantung pada ketua pengadilan dan tergantung pada kesibukan di pengadilan itu sendiri," kata Slamet.

Soal sita eksekusi itu, menurut Slamet, subjektif nanti di pengadilan yang menjalakannya. Pihaknya, pada saat mengajukan surat permohonan sita eksekusi ke pengadilan kemarin, melampirkan daftar nama-nama yang menjadi objek sita.

"Jadi kita bisa melakukan sita suatu barang sebagai jaminan. Barang-barang yang bergerak maupun tidak bergerak antara lain tanah dan bangunan, ada kendaraan. Termasuk kita pertimbangkan, karena ada yang dari mereka itu mantan pejabat negara. Jadi itu kita coba cek di LHKPN KPK. Secara detailnya kita tidak bisa menyampaikan karena dari para tergugat kita ketahui mantan pejabat negara dan khawatir kita ada pengamanan dari pihak terkait jika tahu yang mau disita ini dan itu,” papar Slamet.

Tetapi, lanjut Slamet, jika merasa terlalu lama, lengah yang dilakukan pengadilan, maka pihaknya akan maju lagi ke ketua pengadilan dan menyampaikan surat mempertanyakan bagaimana eksekusi yang diajukan itu.

"Pastinya akan kami tanyakan kembali (kepada pihak pengadilan), bagaimana kelanjutan dari ekskusi yang kami ajuka itu," sebutnya lagi.

Ditanya soal penolakan dari pihak tergugat, Slamet mengatakan kalau sebetulnya tergugat itu dengan tdak menjalankan keputusan, serta merta dia sudah menolak. Namun sekarang ini sudah tidak ada upaya untuk menolak, karena ini sudah dijalankan oleh pengadilan.

"Jadi dengan dia mendiamkan putusan sudah menolak. Kalo di luar negeri itu, apa yang dilakukan Sohibul Cs itu sudah masuk dalam contemp of court (menghina lembaga peradilan). Dan kemungkinan nanti kita juga ingin usulkan ke DPR, di Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) bahwa para pihak yang tidak menjalankan putusan pengadilan itu, kita masukan atau dikategorikan sebagai contemp of court, dan harus dihukum pengadilan di luar amar putusan yang utuh," kata Slamet.

Namun, Slamet menegaskan bahwa upaya sita itu sudah upaya paksa dari pengadilan. Kalau pun mereka melawan, selama harta itu bukan harta mereka atau orang ketiga yang mengajukan perlawanan. "Tetapi selama yang kita ajukan harta para tergugat maka tidak bisa dilawan," tandasnya.

Sebelumnya, pihak Fahri Hamzah selaku penggugat telah dua kali berkirim surat, namun pihak DPP PKS tidak pernah mengindahkan dan beriktikad baik menjalankan putusan membayar ganti kerugian imateriil sebesar Rp30 miliar secara sukarela kepada pihak Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.

"Karena tidak ada reaksi dari para tergugat, kemudian Bang Fahri melakukan permohonan sita eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Slamet.

Posisi terbaru kasus Fahri vs PKS itu memang adalah pada eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (putusan kasasi Nomor: 1876 K/Pdt/2018 tertanggal 30 Juli 2018) yang menolak kasasi pihak PKS (Fahri menggugat karena dipecat sebagai anggota PKS dan berujung pula pada pemberhentiannya sebagai Wakil Ketua DPR).

Para pihak sudah mendapatkan pemberitahuan putusan kasasi pada Januari 2019. Khusus mengenai ganti kerugian imateriil sebesar Rp30 miliar, hakim kasasi memberikan pertimbangan sebagai berikut:

"Putusan pengadilan juga harus memberi pesan agar tiap subjek hukum tanpa kecuali tidak dengan mudah melakukan perbuatan melawan hukum karena setiap perbuatan melawan hukum menimbulkan akibat-akibat hukum".

"Oleh karena itu, petitum ganti kerugian imaterial yang dikabulkan oleh Judex Facti dapat dibenarkan, demikian Slamet Hasan menjelaskan.***