JAKARTA - Malaysia sedang dalam pembicaraan setidaknya dengan enam negara tentang kemungkinan penggunaan minyak kelapa sawit untuk membeli persenjataan terbaru yang akan meningkatkan kemampuan pertahanannya. Kabar ini telah diberitakan Reuters, Strait Times dan Jakarta Greater. Menteri Pertahanan Malaysia, Mohamad Sabu mengungkapkan, biaya telah menjadi hambatan besar bagi Malaysia untuk memperbarui peralatan pertahanannya selama bertahun-tahun yang terus mengalami pemotongan anggaran pertahanan, termasuk upayanya untuk menggantikan kapal perang yang beberapa di antaranya telah beroperasi selama 35 tahun atau lebih.

Diskusi tentang pembayaran atau barter alat pertahanan dengan minyak sawit, telah dimulai dengan Cina, Rusia, India, Pakistan, Turki dan Iran.

“Jika mereka siap untuk menerima perdagangan barter kelapa sawit, kami sangat ingin melakukannya,” kata Mohamad kepada Reuters dalam sebuah wawancara, “Kami punya banyak minyak sawit.”

Selain kapal-kapal perang baru, Malaysia juga ingin membeli pesawat pengintai jarak jauh, drone dan fast intercept boat. Barter yang direncanakan itu adalah bagian dari kebijakan pertahanan 10 tahun yang akan diajukan ke parlemen tahun ini, yang menurut Mohamad akan fokus pada peningkatan kemampuan Angkatan Laut, termasuk di Laut Cina Selatan yang disengketakan.

Cina mengklaim lautan yang disebut sembilan garis putus-putus pada peta, tetapi tumpang tindih dengan wilayah yang diklaim oleh Malaysia, Cina, Vietnam, Brunei, dan Filipina.

Taiwan juga mengklaim sebagian besar lautan. Pengerahan Angkatan Laut Tiongkok baru-baru ini di laut yang disengketakan-yang dilalui lebih dari US$ 3,4 triliun barang diangkut setiap tahun, telah menyalakan kembali ketegangan dengan Vietnam dan Filipina.

Malaysia telah kritis terhadap posisi Laut Cina Selatan China, tetapi belum banyak bicara keras baru-baru ini, terutama setelah Cina memompa miliaran dolar ke dalam proyek infrastruktur di bawah Inisiatif Belt and Road. Malaysia secara teratur mencegat kapal-kapal angkatan laut dan penjaga pantai Tiongkok yang memasuki perairan teritorial Malaysia, kata Mohamad, tetapi menambahkan bahwa Cina menghormati Malaysia dan “tidak melakukan apa pun yang menyebabkan kami kesulitan, sejauh ini,”.

Namun, negara-negara Asia Tenggara perlu bekerjasama untuk memastikan kepentingan mereka tidak tenggelam oleh kekuatan besar seperti AS dan China yang berdesak-desakan untuk menguasai, kata Mohamad.

“Kami ingin kawasan ini tetap damai dan netral,” ujarnya. Malaysia, memang termasuk unggul soal kelapa sawit.

Bersama Indonesia, dua negara ini adalah produsen dan pemasok minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada 1 September 2019, Minggu, kemarin, perwakilan otoritas Malaysia, terlibat dalam diskusi soal konsensus baru terkait kelapa sawit dengan Rights Asia pimpinan aktivis asal Riau, Nukila Evanty.

Konsensus baru antar kedua negara untuk mempertahankan dan meningkatkan industri kelapa sawit di tengah upaya bannedUni Eropa (UE) terhadap sawit, menjadi salah satu poin yang diperbincangkan.

Deputi Utama Kementerian Industri Malaysia, Datuk Seri Shamsul Iskandar mengatakan, "Kami baru saja rapat bulan lalu. Indonesia diwakili Pak Darmin (Menko Perekonomian RI) dan Bu Musdhalifah (Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian),".

Dalam rapat itu, lanjut Datuk Shamsul, "kita membahas pendekatan yang ingin kita ambil berhadapan dengan desakan UE. Jadi kita putuskan bersama. Indonesia memanfaatkan kasus di WTO, kita juga akan memanfaatkan kasus di WTO. Jadi kita berjalan paralel,".

Sementata Nukila, tak berkomentar banyak soal isu perang dagang tersebut. Rights Asia, kata Nukila, berfokus pada penguatan industri kelapa sawit dalam aspek perburuhannya, dimana para petani sawit Indonesia masih sangat jauh dari kata sejahtera. Lebih jauh, menurut Nukila, persoalan industri kelapa sawit juga tak lepas dengan jaminan HAM (Hak Asasi Manusia) terkait pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Mengutip data Bapennas, Nukila menyebut, pada 2018 industri kelapa sawit Indonesia menyerap tenaga kerja sebanyak 16 juta pekerja. Sudut pandang Nukila ini, juga paralel dengan paparan Senator Malaysia, Yusmadi yang menjadi pembicara pembuka dalam diskusi di Hotel Harper, Cawang, Jakarta, itu.

Sebagai bagian dari civil society, kata nukila, Rights Asia mencoba mengambil peran untuk memfasilitasi terbentuknya satu konsensus baru antara pemerintah dengan pelaku usaha guna penguatan industri kelapa sawit Indonesia. "Selama ini terlihat berjalan sendiri-sendiri; pemerintah, perusahaan dan civil society dengan kampanye negatif dan positif.

Padahal, tujuannya palm oil (minyak kelapa sawit) untuk kesejahteraan dan menyerap tenaga kerja. Bagaimana mengatasi isu-isu seperti banned (pelarangan, red) UE, deforestasi, itu yang bisa menyelesaikan kita, civil society, yang bisa menjembatani antara pemerintah, perusahaan," kata Nukila. ***