JAKARTA - Pemerintah tengah mengakselerasi era kendaraan berbasis listrik (KBL) dan menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden) nomor 55 tahun 2019. Namun, peneliti masih mempertanyakan kesiapan payung hukum untuk mendukung sektor energi era tersebut.

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan, "(Pengaturan, red) Mobil listrik ini, betul, harus sekaligus dengan energinya. Tidak bisa sebatas (peraturan, red) industrinya saja, tapi penyediaan energinya juga harus dipikirkan,".

Saat dijumpai GoNews.co di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (29/08/2019) siang, Kurtubi menjelaskan, ada dua payung hukum untuk mendukung era mobil listrik di Indonesia. Pertama, revisi Undang-Undang Ketenaganukliran yang masih berproses di Bapeten dan Rancangan Undang-Undang EBT (Energi Baru Terbarukan) yang tengah berproses di DPR.

Nantinya, UU tersebut diharap bisa mendukung pemerintah dalam mengakselerasi era mobil listrik di Indonesia. Saat ditanya, mana langkah yang lebih tepat untuk mendukung pemerintah, antara merampungkan UU atau mendorong Pemerintah menerbitkan peraturan khusus terkait energi, Kurtubi menjawab dengan optimisme bahwa RUU EBT bisa disahkan di periode DPR mendatang.

"Saya pikir UU EBT akan segera disahkan, di periode berikutnya ya, karena yang sekarang kan tinggal satu bulan," kata Kurtubi.

Terhadap UU EBT yang mengatur energi terbarukan, termasuk energi nuklir itu, Kurtubi menjelaskan, hampir tidak ada masalah di DPR.

"Di Komisi VII khususnya ya, 10 fraksi setuju soal nuklir ini," kata Kurtubi.

Kurtubi berharap, UU ini bisa menjadi landasan hukum bagi pemerintahan Jokowi jilid II untuk mulai merencanakan atau membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).

Pentingnya PLTN, dijelaskan Kurtubi, bukan hanya untuk mendukung era mobil listrik melainkan juga untuk menjamin pemenuhan energi nasional secara luas. Tak terkeculai pemenuhan kebutuhan industri masa depan yang semakin tinggi dan tuntutan rakyat terkait udara bersih.

Sebelumnya, Director Strategic and Technology Enginering Development Institut Otomotif Indonesia (IOI), Eko Rudianto, mempertanyakan pengaturan negara terkait energi untuk menjamin era mobil listrik di Indonesia berlangsung secara optimal.

"Bagaimana PP Energi Listriknya? Listrik sekarang, secara kuantitas dan kualitas tidak bisa untuk mobil listrik, PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) menghasilkan emisi udara," kata Eko melalui keterangan tertulisnya kepada GoNews.co, Kamis (29/08/2019).

Jika pengaturan soal mobil listrik atau kendaraan listrik ini belum komprehensif, Eko khawatir, investor lokal tidak ada yang tertarik berinvestasi untuk mobil listrik nasional.

Pabrik baterai dan charger listrik asing, kata Eko, juga bisa terkendala untuk berinvestasi.

"Ini kunci suksesnya mobil listrik dipakai masyarakat," kata Eko.

Sementara, Perpres (Peraturan Presiden) nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang diundangkan pemerintah pada 12 Agustus 2019 lalu, belum membahas detil terkait kesiapan energi untuk kendaraan listrik.

Pasal 22 Perpres tersebut yang menyinggung soal energi hanya mengatur terkait infrastruktur fasilitas charging dan fasilitas penukaran baterai.

PLN, dimanatkan menjadi penyedia bagi infrastruktur pengisian listrik untuk otomotif era baru itu.

"Penyediaan infrastruktur pengisian listrik untuk KBL Berbasis Baterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penugasan kepada PT PLN (Persero)" bunyi pasal 23 ayat 2 Prepres tersebut.***