PORSEA - Dari Isu pencemaran dan kerusakan lingkungan kawasan Danau Toba menjadi seksi diangkat ke publik. Bahkan isu yang digulirkan pasti mengkait-kaitkan dengan corporate (perusahaan) yang berkontribusi sebagai penyumbang kerusakan lingkungan di Danau Toba.

PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk salah satu corporate yang beroperasional di sekitar Danau Toba menjadi sasaran ‘tembak’ isu tersebut oleh elemen masyarakat maupun NGO lokal dan luar negeri. Bahkan juga, isu tanah ulayat dan adat tanah Batak ikut ‘digoreng’.

Juanda Panjaitan yang sudah 32 tahun mengabdi di PT Toba Pulp Lestari (TPL), Tbk angkat bicara menanggapi isu-isu yang menerpa perusahaan pulp tersebut.

Menurutnya, isu yang ‘menguap’ di publik sudah lama menjadi konsumsi sejak TPL berdiri di Bumi Tapanuli. “Isu yang bergulir cuma itu-itu saja tanpa ada analisa dan kajian yang layak kebenarannya. Namun, seakan isu itu dikonsumsi begitu saja tanpa mencari tahu kebenaran informasinya karena TPL begitu seksi sehingga begitu sangat menjadi perhatian publik,” ucap Juanda didampingi Komisaris Independen TPL, Togu Manurung.

Juanda Panjaitan menambahkan, sejak 32 tahun mengabdi ke TPL, jarang sekali kebenaran konflik yang beredar di tengah masyarakat. “Kita tak memungkiri ada terjadi konflik tapi kebenarannya belum pasti dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mengetahui kebenaran informasi yang luas, silahkan datang berkunjung ke TPL,” kata Juanda.

Seperti isu pencemaran air Danau Toba menjadi hot isu yang selalu bergulir hingga penjuru tanah air. “Sekali lagi kami (TPL) informasikan bahwa sekarang ini perusahaan menerapkan pola friendly. Dan terbuka bagi siapa saja yang ingin mencari informasi seluas-luasnya,” katanya.

Perlu diketahui publik, secara geografis posisi operasional perusahaan pulp berjarak 5-6 kilometer dari bibir Danau Toba. Dan geografis tanahnya berada di bawah sementara Danau Toba berada di atas. “Bagaimana mungkin hasil olahan limbah cair perusahaan dibuang ke Danau Toba. Dari bawah membuang ke atas. Sementara, operasional perusahaan berada dekat dengan Sungai Asahan, sehingga hasil olahan limbah cair disalurkan ke Sungai Asahan,” katanya.

Dan juga beredar isu tanaman Eucalyptus yang dikabarkan menyerap air Danau Toba, sehingga menyebabkan terjadinya kekurangan (defisit) air danau terbesar di Asia Tenggara. “Isu tersebut juga beredar tanpa adanya analisa dan kajian dari ahli atau pakarnya,” tambah Togu Manurung.

Togu Manurung menyebutkan, secara alami semua tanaman membutuhkan air. Apalagi Eucalyptus yang bukan tanaman endemik di Indonesia, pasti membutuhkan air. “Bisa kita lihat di objek perusahaan, tanaman Eucalyptus tumbuh berdampingan dengan tanaman lainnya. Isu itu tak lah seutuhnya benar bahwa Eucalyptus mematikan tanaman endemik yang berada di sekitarnya,” ungkap Togu Manurung.

Berkaitan dengan tanah adat, Juanda Panjaitan kembali bercerita. Menyampaikan bahwa sebelumnya luas konsesi HTI yang diberikan oleh pemerintah secara legal bekisar 269 ribu lebih. Namun kini luasan lahan berjumlah 180 ribu hektar lebih yang secara sah diberikan izin oleh negara untuk dikuasai TPL memproduksi Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Luasan lahan itu tak seutuhnya kami tanami. Ada juga kami jaga kelestarian Hutan Lindung dan Hutan Produksi sesuai regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Silahkan cek kebenarannya jika ingin memastikan kebenaran informasi ini,” jelasnya.

Konsesi HTI yang dikuasai oleh TPL seutuhnya ‘restu’ dari pemerintah yang memberikan izin. Dan konsesi itu wajib dijaga oleh perusahaan. Namun belakang ini konsensi HTI TPL dikaitkan dengan pengklaiman tanah adat dan ulayat oleh sekelompok masyarakat.

“Lahan yang dikuasai milik negara tapi diklaim adalah tanah adat oleh sekelompok masyarakat. Secara logika, bagaimana mungkin tanah negara menjadi tanah adat dan ulayat di kawasan konsesi HTI-nya TPL. Hal ini yang juga menjadi isu yang beredar luas. Padahal yang mengklaimnya adalah masyarakat desa yang tidak berdampingan dekat dengan TPL,” cetus Juanda.

Namun, persoalan ini tetap diselesaikan oleh TPL dengan melakukan mediasi dan kesepakatan ‘win-win solution’ bersama masyarakat. “Kita pasti menyelesaikannya untuk menjaga aset negara ini. Dengan menempuh berbagai kesepakatan yang sesuai tanpa harus ada pihak lain yang menunggangi isu tersebut,” bebernya.

Demi kepentingan masyarakat, TPL baru-baru ini melepas 5000 hektar lebih yang berada di konsesi HTI perusahaan. “Pelepasan itu di Sektor Tele (Humbahas) untuk masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta melalui proses sesuai regulasi pemerintah untuk pengembangan haminjon (kemenyan) sekaligus klaim tanah adat,” ungkapnya.

Terpaan isu miring itu dapat terbantahkan, jika masyarakat maupun elemen lain mau berkunjung ke operasional TPL. “Silahkan datang, pintu kami terbuka lebar bagi masyarakat yang ingin mengetahui informasi luas terkait TPL. Kita siap berdiskusi sekaligus menyampaikan hal-hal yang dibutuhkan,” tandasnya. *