MEDAN-Pemerintah terkesan hanya memikirkan soal penerimaan negara yang sebesar-besarnya dari industri hasil tembakau tanpa memikirkan kelangsungan masa depan penerus bangsa. Hal ini disampaikan oleh Ketua Indonesia Lawyer Association on Tobacco Control (ILATC) Muhammad Joni pada diskusi media yang mengangkat tema Ironi Diskon Rokok di Tengah Visi Jokowi Membangun Manusia Indonesia baru-baru ini di Jakarta.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Indonesia Lawyer Association on Tobacco Control (ILATC) Muhammad Joni pada diskusi media yang mengangkat tema Ironi Diskon Rokok di Tengah Visi Jokowi Membangun Manusia Indonesia baru-baru ini di Jakarta.

“Kebijakan diskon rokok ini menjadi bagian sistematis untuk merusak mental masa depan generasi selanjutnya. Harus diambil langkah-langkah hukum untuk merevisi kebijakan diskon rokok yang pada dasarnya justru mendorong lebih banyak orang yang merokok. Jadi revisi aturannya dan tegakkan larangan promosi rokok,” kata Joni melalui rilisnya, Rabu (21/8/2019).

Joni menengarai adanya benturan kebijakan yang menandakan pemerintah belum bersungguh-sungguh dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul. Untuk itu, perlu ada revisi kebijakan mengenai diskon rokok karena bertentangan PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Ketentuan diskon rokok tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Peraturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.

Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85% dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai. Artinya, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15% dari tarif yang tertera dalam banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85% dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.

Sementara, Pegiat Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Tubagus Haryo Karbyanto yang turut hadir dalam acara diskusi menilai, Pemerintah gagal menekan prevalensi perokok, terutama pada anak-anak.

“Kalau SDM mau maju, seluruh kementerian terkait seharusnya turut mendukung kebijakan ini,” sebutnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan kebijakan diskon rokok ini telah mengurangi efektivitas upaya pengendalian konsumsi rokok dalam rangka menciptakan masyarakat yang sehat, terutama anak-anak yang dikategorikan sebagai kelompok yang harusnya dilindungi dari dampak rokok tersebut.

“Kami mengapresiasi rencana Presiden Joko Widodo dengan visinya yang ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Tapi kebijakan diskon rokok ini justru akan menciptakan petaka demografi, bukan sebaliknya memberikan bonus demografi pada 2030-2040,” tegasnya.

Menurut dia, aturan pemerintah yang benar itu tidak berusaha mengakomodir kepentingan banyak pihak, melainkan fokus pada pengendalian konsumsi rokok. Abdillah menilai pemerintah hanya memikirkan kenaikan penerimaan cukai negara, tanpa mau menaikkan harga rokok yang notabene merupakan salah satu instrumen untuk mengendalikan prevalensi perokok.

Oleh karenanya, pemerintah seharusnya tidak membiarkan industri ini mensubsidi konsumennya dengan memberikan diskon rokok, tapi menegakkan kebijakan bahwa konsumen membayar sesuai dengan harga yang tercantum pada pita cukai rokok.

“Kebijakan cukai yang efektif adalah yang mampu meningkatkan harga. Kalau ada harga beli yang di bawah banderol, hal itu akan melemahkan kebijakan, sehingga (aturan) tidak bisa berjalan baik. Harga beli konsumen seharusnya sesuai dengan harga cukai yang tertera di bungkus rokok,” pungkasnya.*