JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah meyakini Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam periode keduanya, tidak akan mampu untuk keluar dari convert zone (zona nyaman) soal feodalisme yang selama ini dilihat masyarakat. Seperti selama periode pertama memerintah, mantan Walikota Solo itu tidak bekerja optimal karena dikelilingi sistem feodalisme. "Jadi sekarang, angan melakukan pembahasan mengenai Pilpres, itu sudah selesai. Saat ini yang perlu dipertegas ialah soal apakah Pak Jokowi mampu keluar dari inner circle feodalisme yang sudah dianggap nyaman, padahal itu menjebak beliau," kata Fahri ditemui awak media dislea-sela acara Seminar Nasional yang diselenggarakan BAKN DPR RI bertema "Mengawal Akuntabilitas Keuangan Negara” di Gedung Nusantara IV DPR RI, Rabu (21/8/2019).

Politisi dari Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mengungkapkan bahwa maksud penyampaian dirinya ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi lebih mengarah kepada memberikan masukan agar Indonesia lebih baik dan maju. Dan, Jokowi sendiri harusnya sadar bahwa sambutan positif dan pujian terhadapnya itu hanya sebuah topeng palsu.

“Kalau tidak percaya, saya saksi feodalisme yang disingkirkan karena pimpinan kalah berargumen, lalu orang-orang datang menjilat pimpinan dengan mencari pembenaran bahwa, orang ini (saya) layak disingkirkan dengan segala cara karena tidak sopan pada pimpinan. Nah, disinilah maksud kami memberikan masukan agar Presiden terpilih kita paham situsi realitanya,” kata Fahri.

Memang, diakui Fahri kalau budaya di Indonesia masih kental dengan feodalisme. Bahkan ketika agama membawa pembebasan, para tokoh agama justru membentengi diri dengan ‘kesucian’ agar terus berjarak dengan kejujuran. Pimpinan dan yang dipertua tidak pernah boleh menerima kritik dan argumen terbuka.

“Sekali lagi bukan soal satu orang atau seorang pemimpin. Ini soal sistem yang dilumuri lemak feodalisme yang berkarat. Orang-orang dalam posisi atas dari sistem ini menciptakan aturan dan citarasa yang kadang tak terbaca secara kasat mata. Kita hanya merasa bahwa kejujuran tak diterima,” tegasnya.

Apalagi, lanjut insiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu, jika kejujuran itu tentang seorang pemimpin, dimana dalam sistem ini yang bersangkutan harus dipertahankan ‘kesuciannya’ agar tetap punya wibawa dan tenaga untuk ‘menjaga kepentingan bersama’. Bahkan, ada adigium seorang pemimpin tidak pernah salah, asal bapak senang, dan semua yang dilakukan benar.

“Dan mangsa yang paling empuk dari sistem ini adalah seorang pemimpin yang baik tapi lugu, lalu dalam hatinya ada sedikit tersembunyi keangkuhan. Dia nampak baik, penuh senyum dan berkata sopan santun. Feodalisme akan menjaga agar ia tetap berkuasa untuk kepentingan sistem feodal,” sebutnya.

Menurut Fahri, hanya orang yang hatinya kuat dan ada kelurusan karakter yang bisa keluar melompat dari niat jahat sistem feodalisme, seperti menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Rakyat akan menjadi korban yang menanggung segala sengsara.

“Maka jika Anda berkuasa, dan ingin keluar dari jerat sistem feodalisme, orang-orang di sekitar anda letakkan orang yang tajam lidahnya kepada Anda dan menyayangi orang dibawahnya. Insya Allah dengan itu anda akan selamat jika kuat. Tapi jika anda tidak kuat, berhentilah,” tegasnya lagi.

Mengakhiri pernyataannya, Fahri mengatakan bahwa pemaparan yang ia berikan ini akan menjadi salah satu tantangan ke depan bagi menteri yang terpilih agar memberikan laporan yang aktual bukan hanya membuat bapak senang.

"Saya kira ini yang menjadi tantangan ke depan bagi menteri yang terpilih. Tujuannya agar mereka bekerja maksimal bukan hanya sekedar laporan," tutupnya.***