JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI akan memasukan pembahasan Amandemen ke 5 sebagai pintu masuk mengaktifkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam masa sidang paripurna pertama periode 2019-2024. "Insya Allah setelah reses ini rekomendasi mengenai masalah GBHN ini akan difinalkan di MPR dan juga termasuk masalah Tatib MPR yang

akan mengembalikan pimpinan MPR itu dari 8 menjadi 5 , jadi 4 dari DPR dan 1 dari DPD," ujar anggota MPR dari fraksi PKS, Andi Akmal Pasluddin saat
diskusi dengan tema "Penataan Kewenangan MPR dalam Perumusan Haluan Negara" di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (26/7/2019).

Andi menambahkan, pembahasan GBHN tersebut dianggap mendesak agar MPR sebagai lembaga dapat menjadi representasi dari rakyat dan daerah. Tidak seperti sekarang ini, MPR seakan-akan menjadi lembaga subtitusi DPR.

"MPR saat ini fungsinya tidak terlalu signifikan, setelah tidak memilih Presiden dan wakil Presiden. Tapi jangan lupa, MPR tetap mempunyai kewenangan sebagai lembaga tertinggi dan memiliki wewenang tinggi untuk mengubah undang-undang dasar dan bisa memberhentikan Presiden jika melanggar undang-undang," ungkapnya.

Untuk itu, kata Andi, penting sekali MPR kembali berfungsi menetapkan GBHN. "Untuk menjadi guidence nya (penuntun) bagi presiden terpilih 5 tahun mendatang," jelasnya.

Ketika reformasi 1998 GBHN dianggap tidak perlu. Namunn setelah 20 tahun reformasi berjalan kata Andi, ternyata bangsa ini perlu arah pembangunan. "Sehingga ada aspirasi dari kampus, dari kelompok masyarakat, dari profesi dan anak bangsa itu mereka menginginkan bahwa GBHN ini diperlukan. Agar bangsa kita ini punya arah yang jelas dan pedoman yang jelas," jelasnya.

Hal ini diakibatkan adanya Pemilihan Presiden (Pilpres) langsung dan Pilkada langsung. "Salah satu efeknya adalah sistem perencanaan pembangunan nasional ini tidak terintegrasi dengan baik. Walaupun memang ada Undang-undang 25 tahun 2014, Undang-Undang 17 tahun 2009 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional," katanya.

Dua aturan tentang perecanaan Jangka Panjang dan Jangka Menengah itu, kata Andi, tidak cukup dan tidak mempunyai legitimasi yang kuat. Karena dibentuk dalam Undang-undang yang diramu oleh DPR dan Pemerintah.

"Sementara biar mempunyai legitimasi yang kuat MPR mestinya yang harus membuat garis-garis besarnya. Sebab MPR representasi dari rakyat dan daerah dengan gabungan antara DPR dan DPD," katanya.

Sedang yang saat ini berjalan, kata Andi, adalah masing-masing baik itu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagaimana visi dan misinya dalam kampanye. "Dan tidak ada jaminan Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota bisa bertahan 10 tahun karena dipilih lagi oleh rakyat, sistem perencanaan bisa berubah," jelasnya.

Tetapi, kata Andi, dengan GBHN yang bersifat 5 tahun dan 25 tahun menengah dan panjang itu menjadi pedoman bagi siapapun pemimpinan negara dan kepala daerahnya.

"Inilah salah satu masukan-masukan dari masyarakat yang saya sampaikan tadi, karena kami aktif keliling seluruh Indonesia untuk dapat menyerap aspirasi. Jadi, amandemen ke 5 itu perlu, karena kita sudah 4 kali amandemen dan kita berharap bahwa GBHN ini menjadi salah satu produk MPR setelah reses," pungkasnya.***