JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah membidik Anggota Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir dan sang adik yang merupakan terpidana suap pembangunan wisma atlet, Muhammad Nazaruddin dalam kasus dugaan gratifikasi yang menjerat Bowo Sidik Pangarso. Pendapat ini disampaikan Direktur Eksekutif Center for Badget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi saat dihubungi wartawan, Sabtu (20/7/2019) di Jakarta.

"Kalau ada dua bukti, bisa saja KPK memang sedang membidik Nasir dan Nazar," ujarnya.

Saat ditanya apakah dengan pemanggilan tersebut KPK sudah memiliki satu alat bukti dan bisa menjadikan Nasir sebagai tersangka, Ia mengakui bisa-bisa saja.

Namun demikian kata Uchok, semua tergantung dengan hasil pemeriksaan pihak KPK itu sendiri. "Sebelumnya terkait dengan materi perkara yang sudah disampaikan KPK, M Nasir bersaudara kan diperiksa untuk penggurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kabupaten Meranti, Riau," tandasnya.

Untuk itu, Uchok menyarankan agar KPK bisa memperluas ranah penyidikannya tidak hanya membidik Nasir atau adiknya saja. "Jadi intinya harus dikembangkan, jangan bertkutat hanya di Nasir, Nazar atau juga Bowo (yang sudah menjadi tersangka)," tegasnya.

Dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi untuk anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso, KPK sendiri telah mendapatkan fakta baru, dimana yang bersangkutan tidak hanya menerima uang dari Kerjasama penyewaan kapal dari PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dengan PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog).

Namun, KPK mengidentifikasi saat ini ada empat sumber dugaan penerimaan gratifikasi oleh Bowo Sidik. Pertama, terkait peraturan Menteri Perdagangan tentang perdagangan gula rafinasi. Kedua, terkait penganggaran dana alokasi khusus di beberapa daerah. Ketiga, terkait revitalisasi empat pasar di Minahasa Selatan. Keempat, terkait posisi orang tertentu di BUMN.

Khusus untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), KPK sendiri sudah melakukan pemeriksaan terhadap M Nasir yang dianggap memiliki informasi soal pengurusan DAK di Kabupaten Meranti, Riau.

"Ada tiga yang kami panggil M nazaruddin, M Nasir dan satu orang lagi itu lebih terkait kepada kebutuhan KPK untuk mendalami penggurusan anggaran DAK salah satu di Riau di Kabupaten Meranti," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Dihari yang sama, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan Komisaris Utama PT Fahreza Duta Perkasa, Aan Ikhyaudin untuk kasus dugaan suap terkait kerja sama penyewaan kapal PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) dengan tersangka Indung yang merupakan orang kepercayaan Bowo.

Aan sendiri dalam fakta persidangan dengan terdakwa Nazaruddin diketahui adalah mantan supir Nazar. Namun sayangnya, Febri menyebutkan, Aan bersama dengan saksi-saksi lain tidak memenuhi panggilan penyidik KPK.

"Saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut karena yang bersangkutan (Aan) tidak hadir," ungkapnya.

KPK juga telah memeriksa Nasir yang kemungkinan dalam waktu dekat juga akan diperiksa kembali. "Tentu bila penyidikan membutuhkan keterangan, yang bersangkutan akan dipanggil kembali," ungkap Febri.

Sebelumnya diberitakan, Bowo Sidik Pangarso adalah anggota Komisi VI DPR RI yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait kerja sama penyewaan kapal dari PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan PT Pupuk Indonesia Logistik (PILOG) serta gratifikasi lainnya.

Pihak KPK sendiri telah menemukan bukti salah satu sumber gratifikasi terkait pengurusan DAK. Bahkan, dugaan ini diperkuat dengan penggeledahan ruang kerja Nasir pada 4 Mei 2019.

Bowo Sidik bersama pejabat PT Inersia, Indung dan Marketing manager Humpuss Transportasi Kimia (PT HTK), Asty Winasti ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait kerjasama jasa penyewaan kapal antara PT Pilog dengan PT HTK. Bowo dan Idung sebagai penerima sedangkan Asty pemberi suap.

Bowo diduga meminta fee dari PT HTK atas biaya jasa angkut tersebut. Total fee yang diterima Bowo USD2 permetric ton. Pemberian fee terjadi enam kali di sejumlah tempat seperti rumah sakit, hotel dan kantor PT HTK senilai Rp221 juta dan USD85.130.

Dari Bowo penyidik menyita uang sebesar Rp8 miliar dalam 82 kardus dan dua boks kontainer. Uang Rp8 miliar itu terdiri dari pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu yang sudah dimasukkan ke dalam amplop berwarna putih.

Bowo dan Indung selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b ayat (1) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan Asty selaku penyuap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.***