MEDAN - Rancangan Undang-Undang (RUU ) Sumber Daya Air (SDA) yang saat ini tengah memasuki tahap akhir perumusan di DPR perlu memastikan pengaturan hak dasar rakyat atas air. Hal ini mengemuka dalam Diskusi Pakar “Memastikan Pengaturan Hak Dasar Rakyat atas Air pada RUU Sumber Daya Air”, kerjasama Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed dengan TERRA Simalem yang digelar di Ruang Sidang FIS Unimed, Rabu, 17 Juli 2019.

RUU tentang SDA harus menjadi jawaban atas berbagai persoalan yang menahun terkait pemenuhan hak atas air oleh masyarakat. Sebab, air sebagai kebutuhan vital masyarakat yang harus dijamin oleh pemerintah. Permasalahannya, pemerintah hingga saat ini baru mampu menyediakan kurang dari 70 persen kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Untuk memperkuat ketahanan air dan pemenuhan 100 persen kebutuhan air bagi masyarakat, pemerintah perlu mengalokasikan dana sebesar Rp 100 triliun hingga tahun 2024 untuk pembangunan infrastruktur SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Karenanya, kehadiran swasta dalam pengelolaan air bersih bagi masyarakat tetap dibutuhkan.

Karenanya, aturan payung hukum baru harus segera diterbitkan. Pentingnya diundangkannya dengan segera RUU SDA yang baru, karena meskipun keputusan MK juga menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali, tetapi MK dalam amar keputusannya juga tidak menyatakan bahwa semua aturan pelaksanaan yang mengikuti UU No. 11 Tahun 1974 berlaku kembali. Dengan demikian, semua aturan tesebut juga batal demi hukum karena sudah semua aturan pelaksanaan UU No 11 Tahun 1974 juga dibatalkan oleh semua tata aturan di bawah UU Nomor 7 Tahun 2004.

Direktur Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) dan pakar SDA dari UIKA Bogor, Dr. Mohamad Mova Al’Afghani mengatakan, meski soal pemenuhan hak atas air sudah dimasukkan ke dalam prioritas hal-hal yang dijamin pemenuhannya dalam pasal 8 RUU SDA, seperti kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan SPAM, tapi itu masih menjadi pertanyaan. “Yang dijamin di sini air baku untuk SPAM-nya atau air SPAM-nya (yang sudah diolah),” ujarnya.

Selain itu, kata Mova, belum adanya penjelasan untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Dipenjelasan dimasukkan perihal 60 liter per orang per hari, sementara untuk pertanian tidak lebih dari 2 hektare. “Tapi untuk SPAM belum ada penjelasannya. Menjadi suatu pertanyaan, apakah Hak Atas Air dari SPAM itu dijamin oleh UU? Apabila iya, seberapa banyak?” kata Mova.

Dia juga mempertanyakan soal jaminan rakyat atas air itu, apakah yang dijamin itu kuantitasnya saja, atau kualitasnya juga? “Kalau hanya kuantitasnya, ya itu tidak berarti. Kalau kualitasnya juga sangat sulit,” jelasnya. Soal izin untuk swasta serta syarat tertentu dan ketat seperti (Pasal 47 RUU SDA), Mova mengatakan sudah banyak perbaikan dalam pembahasannya. Misalnya, syarat kerja sama badan usaha, bank garansi dan 10% sudah dihilangkan. “Cuma soal pemangku kepentingan sekitar, yang tadinya rekomendasi persetujuan menjadi konsultasi saja. Mungkin ini seharusnya dilakukan pada level wilayah sungai,” tandasnya.

Begitu juga soal izin usaha untuk swasta buat SPAM (Pasal 51 RUU SDA), dia mengutarakan sudah cukup baik. Dia tidak setuju kalau RUU SDA ini menghilangkan keterlibatan pihak swasta untuk bisa memegang izin SPAM. “Ini tidak realistis,” ucapnya.

Hal ini juga diperkuat Direktur Air Limbah PDAM Tirtanadi Sumatera Utara, Fauzan Nasution. Dia mengakui tidak semua BUMN mampu mengelola SPAM. Karena kapasitas teknis harus ditingkatkan. “Kita tidak mau membebani APBD, jadi harus bermitra dengan swasta. Perlu diatur soal pembagian peran antara swasta dan BUMD,” ujarnya.

Selain itu, kata Fauzan, air limbah juga harus diatur. “Tapi ini tidak banyak disentuh dalam RUU SDA,” katanya.

Sementara Muhammad Fahmi Siregar S.H., M.Hum (Dosen Universitas Negeri Medan (UNIMED) / Pakar Bisnis dan HAM Pusham UNIMED), juga melihat RUU SDA yang dibahas di DPR saat ini belum sepenuhnya bernuasa hak asasi masyarakat terhadap ketersediaan air.

Hadir dalam acara yang dimoderatori Majda El Muhtaj Kepala Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan itu, Prof. Dr. H. Hasyim Purba, S.H., M,Hum (Prodi Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H., M.S, Guru Besar Fakultas Hukum (Universitas Sumatera Utara (USU), Dr. Zulham S.Hi., M.Hum (Pakar Hukum Konsumen Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Muhammad Reza (Koalisi Rakyat Untuk Hak Asasi Air (Kruha), Abdul Rauf, dan Henry Thomas Simarmata (Senior PSIK Indonesia), dan Iswan (Kaputra, Bitra Indonesia).***