JAKARTA - Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan dinilai masih perlu ditunda. Panja dan Sektor Usaha ungkap alasannya.

"Kita perlu mendapatkan penjelasan terhadap bagaimana memaknai relasi relasi antara pertanahan dan kawasan," kata Direktur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto dalam diskusi di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/07/2019).

Menurut Purwadi, ketika bicara soal pertanahan, hal itu sudah jelas, tapi ketika bicara soal kawasan maka perspektif yang muncul adalah hutan sebagai sebuah ekosistem.

"Pasal-pasal dari pasal 1 sampai sekitar pasal 62 itu kan kita bicara bingkainya adalah hak pengelolaan dalam konteks pertanahan, kemudian tiba-tiba di dalam pasal 63 dan seterusnya itu, muncul (soal, red) kawasan di situ. Ini yang kemudian banyak menimbulkan pertanyaan," kata Purwadi.

Ia menandaskan, kesumiran itu butuh penjelasan karena jelas, "sejak awal kawasan itu tidak ada penjelasan, baik di dalam penghantar maupun di dalam batang tubuh, kemudian di dalam pasal 63 dan seterusnya tiba-tiba muncul kategorisasi kawasan,".

Penolakan senada, juga disampaikan oleh Anggota Panja RUU Pertanahan, Hendri Yosodiningrat. Hendri mengatakan, "saya akan sangat menyayangkan kalau (RUU) itu didesak atau tergesa-gesa harus sudah diundangkan,".

Karena, menurut Henry, masih perlu diperjelas pengaturan terkait Hak Pemanfaatan Lahan (HPL), Hak Guna Bangun (HGB) dan Hak atas Tanggungan.

"Saya kasih contoh di sekitar Senayan, Hotel Century, Hotel Mulia, kemudian Senayan City, Plaza Senayan dan sebagainya, itu tanah dengan HPL atas nama badan pengelola GBK. Saya terus terang saya tidak yakin di atas HPL itu dibebani dengan HGB atas nama badan hukum yang menjadi mitra dari GBK" kata Henry.

Itu hanya satu dari situasi yang dicontohkan Henry. Ia khawatir, negara kehilangan hak atas tanah ketika pengaturan-pengaturan tersebut tak cukup baik.

"Dengan Sertifikat HGB itu, itu bisa dijadikan jaminan di Bank dengan pola seolah akan membangun dan kemudian dimacetkan," ungkap Henry.***