MEDAN-Pewarta Foto Indonesia (PFI) Medan bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi -Pembangunan (STIK-P) Medan menggelar Dialog Fotografi Kebencanaan dalam The Journalism Literacy (Photo Reporting Programme) mengusung tema “The Unexpected Disaster” menghadirkan salah satu pewarta foto ‘keras’ dan handal Beawiharta di Kampus STIK-P Medan Jalan SM Raja, Selasa (9/7/2019) malam.

Di hadapan puluhan peserta terdiri dari fotografer, pegiat film dan mahasiswa dari beberapa unversitas di Kota Medan, Bea membagikan pengalamannya meliput perang di negara konflik seperti Afghanistan dan daerah bencana termasuk tsunami Aceh dan erupsi Sinabung di Karo, Sumatera Utara.

Dalam meliput bencana, ada banyak hal bisa terjadi seperti fasilitas yang tidak memadai pasca bencana, kelelahan fisik dan mental, gangguan psikologis hingga ancaman keselamatan jiwa.

Ia benar-benar merinci apa yang seharusnya dipersiapkan fotografer dalam beradaptasi di zona bencana yang tidak terduga.

"Adalah hal memilukan ketika berdiri di hadapan ratusan jenazah dan orang-orang yang mencari anggota keluarganya yang hilang dengan pandangan kosong. Beban ini yang tak dapat saya tanggung, sehingga saya sempat dibawa ke psikiater,” kata Bea yang sempat terganggu secara psikologis pasca meliput bencana tsunami Aceh 2004.

Moralitas sebagai dasar kemanusiaan sangat tergerak ketika momentum itu menjadi tanggung jawab seorang pewarta foto untuk dapat menyampaikan informasi kepada khalayak ramai.

"Dalam kondisi ini persiapan sebelum bertugas adalah penting untuk menentukan keberhasilan dalam proses adaptasi di zona bencana, sebab sangat tidak baik jika kita akhirnya malah merepotkan korban bencana," ujar pria lahiran Jember tersebut.

Ia menambahkan metode utama yang dilakukan adalah observasi, eksekusi dan kemudian perangkuman materi. "Di mana dalam observasi, akan menentukan bekal yang penting untuk dipersiapkan, baik itu makanan peralatan, terutama mental," ujar mantan Fotografer Reuters itu menambahkan bahwa berhadapan dengan resiko gangguan psikologi adalah konsekuensi yang penting untuk dapat diatasi bagi jurnalisme kebencanaan, sehingga memulihkan psikologi adalah hal yang wajib dilakukan pasca penugasan.

Winnis Mesra Zega, mahasiswi jurusan Filsafat Universitas Panca Budi Medan yang tertarik pada dunia fotografi sempat menanyakan pertanyaan terkait bagaimana perasaan Bea  ketika berada di lokasi konflik dan harus dihadapkan pada tanggung jawab dan resiko akan kehilangan nyawa.

  Mahasiswi semester II tersebut mengklaim acara ini bagus, ia dan setiap peserta yang hadir sangat antusias.

Ketua Panitia Panyahatan Siregar mengatakan pentingnya pengalaman beharga seorang fotografer sekelas Bea untuk memperkaya metode dalam menjalankan tugas jurnalistik di zona bencana, terutama bagi fotografer pemula.

Panyahatan yang juga merupakan anggota Kelompok Studi Fotografi POTRET mengungkapkan rasa syukurnya yang sangat besar karena acara ini berlangsung dengan baik, “harapan saya agar ke depannya acara dapat lebih besar lagi sehingga dapat memberikan manfaat dan memotivasi pecinta fotografi di manapun berada,” katanya.

Rahmad Suryadi, Ketua Pewarta Foto Indonesia, juga berharap agar melalui acara ini banyak audiens merasakan manfaat dan inspirasi dari setiap materi yang diberikan.*