JALAN lengang, panjang, dan begitu-begitu saja. Aspal mulus menyimpan panas matahari dan melepasnya lagi ke udara bersama debu dan kerikil. Ibnu memacu motor melampaui batas maksimal kecepatan dalam undang-undang lalu lintas. Jika saja ada polisi, saya akan berteriak minta tolong supaya mereka mengira Ibnu penculik. Dalam kondisi menjemukan, polisi bisa membuat suasana lebih hidup. Padahal hari ini seharusnya puncak arus mudik dan kami sedang berada di Jalan Raya Pantura yang reputasinya sering diceritakan ulang dari mulut ke mulut dan kami yakin bulan lalu tidak mendengar suara sangkakala, tetapi kenapa kami seperti berada di dalam cerita fiksi pascakiamat.

Saya meramal beberapa bulan sebelumnya bahwa pada hari ini, di jalan ini, kegilaan akan terjadi. Atas ramalan itu saya mengajukan ide untuk memotret jalur mudik. Saya membayangkan rombongan pemudik tak ubahnya War Boys dan kendaraan aneh seperti War Rig, The Gigahorse, Razor Cola, The Nux Car, serta geng motor keras kepala berebut ruang di jalan aspal, memaksa mesin mereka meraung seperti ingin melampiaskan frustrasi setelah satu tahun disandera kemacetan Jakarta: ini akan jadi cerita foto yang epik.

Tetapi rupanya cara kerja kenyataan belum banyak berubah dan saya memang tidak berbakat menjadi ahli nujum. Ibnu, yang ingin ditulis berumur 25 tahun, adalah sahabat saya.

Dia teman paling cocok untuk melakukan perjalanan yang kurang jelas tujuannya karena dia tidak banyak tanya. Kali ini dia menjadi juru kemudi saya dalam misi menyusuri jalur Pantai Utara Jawa sejauh mungkin ke timur.

Satu jam yang lalu saya bertemu Parin. Usianya 42. Dia seperti maling yang mengendap-endap masuk ke rumah makan yang ditinggalkan oleh pemiliknya.

Ternyata dia adalah pemilik bangunan bobrok tersebut. Dilihat dari dekat, wajahnya terlihat lebih tua satu dekade dengan rambut yang tipis keperakan disisir rapi ke belakang. "Baru ditinggal semalam," seru Parin, lalu mengumpat dengan sangat ikhlas. Yang membuat Parin geram adalah dua lembar terpal yang raib. Rencananya terpal-terpal itu akan digunakan untuk lapak berdagang: selembar untuk atap, selembar untuk alas.

Rencana yang brilian, tetapi rupanya cara kerja kenyataan belum banyak berubah. Rencana rancangan Parin bukanlah penemuan Parin. Di sepanjang jalur Cikampek hingga Indramayu para pedagang dadakan yang menjajakan makanan dan minuman instan juga mendirikan tenda terpal dan menyediakan terpal lain buat alas bagi para pemudik putus asa yang curi-curi kesempatan untuk merenggangkan kaki.

Sebab pemudik ini ternyata manusia biasa, sekalipun mereka sanggup menempuh jarak perjalanan yang melampaui imajinasi insinyur-insinyur Jepang saat merancang ergonomika motor bebek, mereka tetap butuh makan dan minum.

Pada paruh 2011, Parin mengoperasikan rumah makan dan tak lama kemudian Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto melakukan ground breaking pembangunan tol Cikopo-Palimanan yang disingkat — seperti yang sudah-sudah, biar gampang diingat — Tol Cipali.

Parin was-was. Dia tahu, keberadaan tol itu akan memengaruhi volume kendaraan yang melintas di Jalan Raya Pantura, yang secara langsung akan memengaruhi pendapatan rumah makannya. "Begitu saya dengar di situ akan dibangun tol, saya langsung bilang ke karyawan saya agar banyak-banyak menabung," kenangnya.

Daendels membangun jalan ini pada 1808 sebagai Jalan Raya Pos. Jalan ini kemudian menjadi jalur penting perekonomian pulau Jawa, sekaligus jalur utama arus mudik. Baik kendaraan dan manusia, keduanya butuh banyak hal buat hidup.

Hubungan timbal balik terjalin: warung indomie, bengkel, bensin eceran, rumah makan, penginapan, hingga rest area 24 jam. Begitulah cara kerjanya sehingga setiap tahun pada puncak arus mudik, berita-berita di media arus utama biasanya penuh kabar tentang hiruk-pikuk dan carut-marutnya penanganan salah satu hajatan perpindahan manusia terbesar hasil kegagalan pemerataan pembangunan.

Begitulah yang seharusnya terjadi: ini akan jadi cerita foto yang epik, tetapi pembangunan adalah pembangunan adalah pembangunan seperti kerja adalah kerja adalah kerja.

Presiden Joko Widodo meresmikan Tol Cipali pada 2015. Tol ini rupanya ahli dalam singkat-menyingkat, dia memangkas waktu tempuh perjalanan sekitar 2 jam. Itu kabar baik bagi pengendara, dan kabar baik bagi yang satu bisa jadi kabar buruk bagi yang lain. Volume kendaraan yang melalui Jalan Raya Pantura dipangkas hingga 90 persen.

"Dulu dalam sehari bisa sampai 40 bus yang mampir makan di sini. Saya kerjasama dengan PO bus juga," kata Parin, "Setelah ada Cipali, sehari 5 bus aja udah syukur. Belakangan saya tahu PO bus itu malah buka rumah makan di rest area tol."

Pada masa yang jauh lebih baik, rumah makan Parin mempekerjakan 40 karyawan. Mereka kebanyakan berasal dari kecamatan Lohbener, kabupaten Indramayu. Desa tempat tinggal Parin.

Parin menutup rumah makannya pada 2016. Pada masa ini, dia tidak sendiri. Puluhan Parin, secara berangsur-angsur, harus mencari cara lain supaya lolos dari celaka. "Sekarang desa saya sepi, kebanyakan terpaksa cari kerja ke Jakarta atau Bandung, yang perempuan jadi TKI atau kerja di pabrik."

Cerita Parin sepertinya tidak berlebihan. Di sepanjang jalur Pantura yang saya lewati tadi mudah sekali menemukan rumah makan dan penginapan terbengkalai. Kebanyakan ditinggalkan begitu saja bersama perabotan, seperti yang dilakukan Parin, yang mengingatkan saya pada kota Pripyat beberapa hari setelah reaktor nuklir nomor 4 pembangkit listrik Chernobyl meledak.

Parin bercerita dia tidak punya cukup uang dan tempat untuk memindah dan menampung perabotan rumah makannya, "Dulu awal-awal selalu saya jagain tiap malem. Suatu hari saya berhalangan, besok sorenya saya tengok barang-barang saya sudah habis. Sisa piring sama talang air." Dia juga pernah berencana menjual bangunan tersebut, tapi harga tanah juga anjlok.

Keberadaan mulusnya Tol Trans jawa, bak 'Mesin Pembunuh bagi para pengusaha dan karyawan hotel, restouran di sepanjang Pantura. Sekarang Parin harus mencari cara lain, atau terpal lain.

Sementara malam sebelumnya di tempat lain di daerah Patokbeusi, seorang pelayan warung remang-remang yang menyediakan bir dan waktu luang bercerita: dulu dia dan temannya bekerja sebagai kasir di rumah makan, kini dia jadi pelayan warung remang-remang dan temannya bekerja serabutan dengan mengambil dan menjual barang-barang yang dia temukan di bekas rumah makan. Kami tiba di Losari. Ibnu mendadak berputar arah.

"Lah, balik?" "Iya, gua engga punya SIM," jawabnya, seraya menunjuk cepat barisan polisi lalu lintas yang siaga di tepi jalan, lalu dia memacu motor lebih cepat dari sebelumnya. Dalam kondisi membosankan, polisi memang membuat suasana jadi lebih hidup. (Artikel ini sudah tayang di Tirto.id dengan judul asli: Apa Persamaan Chernobyl, Fury Road, dan Pantura?)