Namanya Adi Putra. Sarjana hukum lulusan Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta. Sejak sekitar 2014 dia memilih tinggal di Subang, Jawa Barat. Begitu Adi memperkenalkan diri pada pertengahan Maret 2019 seperti dilansir dari CNNIndonesia.com. Bercelana pendek, dan mengenakan kaus lusuh berlengan buntung, dia mengaku sebagai kerabat pemilik Rumah Makan (RM) Sabar Menanti Baru yang terletak di Kecamatan Ciasem, Subang.

Tak ada plang nama RM Sabar Menanti Baru ketika kami bertemu dengannya. Hanya ada plang RM Sari Manis 3 yang telah pudar warna tulisannya. Tiang penyangga papan nama itu pun sudah miring. Kata dia, RM Sabar Menanti Baru sebelum bangkrut telah berpindah sewa, dan terakhir sebelum ambruk disewa oleh RM Sari Manis 3.

Bangunan rumah makan itu pun sudah roboh. Tak ada atap. Dinding pun runtuh. Ilalang tumbuh. Hanya ada sisa-sisa bukti yang menunjukkan bangunan itu sebuah rumah makan berupa meja, kursi, dan etalase kaca tempat makanan dipajang. Empat belas toilet umum juga dibiarkan tak terawat. Hanya satu toilet yang dibiarkan.

“Saya ahli waris generasi ketiga dari rumah makan ini. Memang kondisi rumah makan banyak yang tutup di jalur pantura setelah tol. Dampak tol itu sangat besar,” kata Adi.

Cerita Adi dan Sabar Menanti Baru bukan satu-satunya. Tol Trans Jawa hampir menggulung habis sejumlah pengusaha di Jalur Pantura. Sebagian pemilik rumah makan, hotel, SPBU, hotel terpaksa menutup usahanya. Terutama sejak 30 Juni 2015, saat Tol Cikampek-Palimanan (116 km) diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

Adi mengatakan keberadaan tol Cipali sejak 2015 mempengaruhi pendapatan Rumah Makan di sepanjang Pantura. Tak hanya restoran kerabatnya, kata dia, 70 persen rumah makan di Pantura ambruk.

Data Bank Indonesia tentang Dampak operasi tol Cipali terhadap aktivitas ekonomi di Pantura dan Cipali tahun 2015 menunjukkan terjadi pengurangan jumlah rumah makan di sepanjang jalur Pantura sebesar 68 persen. Restoran yang berada di Pantura ini mengalami penurunan omzet yang cukup besar, dan berdasarkan data BI bahkan mencapai 78 persen.

Kebangkrutan rumah makan-rumah makan besar, kata Adi, disebabkan karena bus-bus yang sebelumnya melintas di Pantura lebih memilih masuk Tol Cipali.
“Kebanyakan rumah makan di sini mengandalkan bus-bus dan mobil pribadi. Nah itu, sejak tol itu banyak yang karut-marut bahkan gulung tikar, bahkan ada beberapa Perusahaan Otobus (PO) bus yang punya usaha rumah makan di sini, tutup dan pindah cabang ke dekat tol Cipali,” katanya.

Adi bercerita, para penjual kopi dan oleh-oleh seperti telor asin bisa mengantongi Rp300 ribu per hari sebelum tol Cipali berdiri. Namun kini penghasilan mereka kembang kempis.
Banyak pedagang kemudian beralih profesi setelah lumbung pendapatan mereka ambruk.
“Sebanyak 60-70 persen bekas pegawai restoran nganggur. Petani juga enggak punya sawah.”
“Tahun 2015. Itu pusing-pusingnya masyarakat. Memang sebagian masyarakat ada yang beralih jadi pekerja di daerah karawang, jadi buruh di pabrik-pabrik. Ada juga yang sampai jadi TKW,” katanya.

Adi menyebut pemerintah sebenarnya sudah berupaya untuk membantu pengusaha-pengusaha rumah makan setelah tol beroperasi, seperti meluncurkan program kemudahan mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui sejumlah bank. Tapi, efeknya tidak terasa karena untuk mengurus proses kredit berbelit-belit. “Njlimet banget prosesnya,” katanya.

Senasib dengan Adi, Yuli Hermawan, pemilik Restoran dan Hotel Markoni di Kecamatan Sukasari, Subang, Jawa Barat mengaku usahanya babak belur seusai tol Cipali diresmikan. Perusahaan Otobus (PO) yang bekerjasama dengannya semua lari. Bus-bus itu memilih lewat tol. Markoni pun sepi.

“Sempat kasih kesempatan dulu buat PO barangkali mau buka di sini beberapa bulan (pasca peresmian) Cuma, enggak sampe setahun. Akhirnya, enam bulananan lah (pasca tol Cipali diresmikan) di desember 2015 kita tutup rumah makan,” kata Yuli.
Bisnis rumah makan yang ambruk ini sangat berdampak pada kondisi keuangan Yuli. Pasalnya, sebagian besar penghasilan didapat dari sana.

Nestapa Adi dan Yuli juga dirasakan Ali, pegawai senior Rumah Makan Uun yang terletak di Karanganyar, Pusakajaya, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Baginya, kehadiran tol Trans Jawa Ruas Cipali memang bak badai yang meluluhlantakkan sumber pendapatannya.

Ali bercerita, sebelum kehadiran tol itu, Rumah makan Uun dapat melayani 100 hingga 200 bus dalam semalam. Omzetnya mencapai puluhan juta. Saking larisnya, tiap tahun karyawan rumah makan Uun bisa diberangkatkan umrah. Bahkan ada yang sampai naik haji.

“Ya, alhamdulillah. Dulu waktu masih dipegang almarhum ibu hajah, sampe bisa umrahin beberapa karyawan. Setiap tahun lima (pegawai). Dalam lima tahun, mungkin ada 25 orang. Belum lagi yang dihaji-in,” kata Ali.

Cerita sukses itu kini tinggal kenangan setelah tol Trans Jawa ruas Cikopo Palimanan beroperasi. Dari 100 hingga 200-an bus, Rumah makan Uun kini hanya dikunjungi satu hingga dua bus. Dari 100 pegawai kini Rumah Makan Uun hanya memiliki lima karyawan.
Meski miris, sang pemilik masih belum mau menutup usahanya karena terganjal wasiat orang tua. “Tapi, kalau tahun ke tahun kayak gini, apa boleh buat. Masa kita harus masukin dana terus,” kata Ali dengan tatapan kosong.

Pejabat Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat yang enggan disebutkan namanya mengatakan tol sangat berdampak pada perekonomian warganya. Gelombang penutupan restoran-restoran di sana berkontribusi besar terhadap tingkat pengangguran.

Warga Ciasem, lanjut dia, banyak yang menggantungkan hidup dari restoran-restoran yang terletak di sepanjang Jalur Pantura. Namun, Bank Indonesia tahun 2015 mencatat penurunan tenaga kerja akibat dari beroperasinya tol Trans Jawa ruas Cikopo Palimanan hanya mencapai 13 persen. “Tapi yang jelas kalo sudah fakta begitu, tenaga kerja kan gak jauh dari masyarakat lokal sini. Banyak dampaknya Cipali itu luar biasa. Menurun di bidang ekonomi,” katanya.

Ia mengatakan pihak kecamatan tidak menawarkan solusi banyak terkait dengan situasi itu. ia hanya mengharapkan tenaga keja di Desa Ciasem dapat terserap oleh lima pabrik yang berdiri di sana. Pihak Kecamatan pun baru sebatas menyampaikan ada tingkat pengangguran yang tinggi kepada pihak Kabupaten Subang.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Jawa Barat Herman Muchtar mengamini tol berdampak besar terhadap tutupnya usaha restoran dan rumah makan di wilayah Pantura. Hal itu sudah terjadi di sejumlah wilayah lain.

“Yang jelas contoh Purwakarta. Sekarang banyak restoran tutup, contoh seperti ikan bakar Ciganea itu sudah lama tutup. Bahkan beberapa restoran dan hotel okupansinya turun. Dengan jalan tol itu sudah berdampak pada matinya (restoran) Purwakarta,” kata Herman.

Rumah makan yang gulung tikar di sepanjang jalan nasional yang beriringan dengan tol hampir menjadi keniscayaan. Saat tol beroperasi, kata Herman, rumah makan berada di sepanjang jalan nasional omzetnya bakal praktis turun di atas 50 persen. “Mending kalau turun 30 persen, tapi kalau melebihi itu bangkrut,” tegas Herman.

Di tengah terpaan badai Trans Jawa, tetap ada sejumlah rumah makan yang masih bertahan. Meski harus mengais puing-puing kejayaan masa lampau. Salah satunya adalah Rumah Makan dan Hotel Markoni yang dimiliki Yuli.

Beruntung, Yuli punya usaha sampingan berupa karaoke. Meski tak banyak hasil yang diraih, usaha karaoke itu harus jadi tulang punggung buat Markoni. Tempat karaoke miliknya itu masih berlokasi satu komplek dengan rumah makan dan hotel Markoni. Meski ikut terdampak tol Cipali, karaoke miliknya masih memiliki pelanggan setia. Kebanyakan dari mereka adalah warga sekitar dan para juragan yang mencari hiburan. Selain karaoke Yuli bergantung pada bisnis hotel miliknya. Meski sepi ia tetap bertahan dengan hotel 70 kamar miliknya itu. Hotel itu ia sewakan murah untuk sales. “Kan hotel buat sales, sales masih jalan,” ujarnya.

Dua tahun mengais puing-puing rezeki dari hotel dan karaoke, angin segar datang di 2017. PT Pembangunan Perumahan (Persero). Badan Usaha milik Negara (BUMN) karya itu menyewa hotel milik Yuli untuk dijadikan tempat tinggal karyawan. Harapan dari PT Pembangunan Perumahan bukan sekedar setoran sewa bagi Yuli tapi lebih jauh lagi. Perusahaan plat merah itu tengah membangun asa untuk para ‘korban’ badai Trans Jawa bernama Pelabuhan Patimban.

Pelabuhan Patimban merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dibangun dengan nilai Rp43,2 triliun. PT PP sendiri menjadi salah satu kontraktor pelaksana bersama-sama dengan Penta Ocean, Toa, dan Rinkai dari perusahaan marine construction Jepang, dan PT Wijaya Karya.

Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas menyebut Pelabuhan Patimban diharapkan menjadi penstimulus pengembangan wilayah di daerah Subang. Pelabuhan ini diperkirakan memiliki kapasitas hingga 7,5 juta peti kemas. Diperkirakan pelabuhan ini akan jadi salah satu pusat keramaian baru di wilayah Jawa Barat bagian utara. “Setelah Patimban, mudah-mudahan saja ada investor masuk sini ngasih modal,” harap Yuli dengan mata berbinar.

Membuka usaha di luar jalur Pantura juga menjadi salah satu siasat bertahan. Yuli berjudi dengan membuka Rumah Makan Markoni di Jalan Raya Sembung, dekat dengan pintu keluar tol Cipali arah Subang pada 2017.

Pasca-buka di sana, PO bus pun mulai kembali berdatangan untuk bekerjasama dengan Yuli. Menurutnya beralih tempat usaha adalah salah satu cara yang harus dilakukan untuk bertahan dari kemerosotan usaha di sepanjang Pantura.

Berpindah tempat juga dilakukan Warung Makan Kita. Bedanya, mereka memilih untuk buka di tempat peristirahatan (rest area) Tol Trans Jawa kilometer 294. Salah satu pegawai, Sisca (20), mengklaim usahanya lebih ramai dibanding di tempat asalnya di Pantura, tepatnya di Tegal, Jawa Tengah.

Selain restoran dan rumah makan, usaha SPBU pun ikut bersiasat. Tol Trans Jawa juga memberikan imbas negatif pada sektor ini. SPBU Muri Tegal misalnya, penurunan penghasilan cukup terasa akibat tol Trans Jawa.

Untuk menghadapi itu SPBU yang sudah berdiri sejak 2006 silam ini memilih untuk membuka cabang baru di rest area km 228 Tol Trans Jawa. “Solusinya ya harus nyari tempat yang dekat sana biar langganan yang biasa di sini balik lagi. Sekarang ya Alhamdulillah sudah pada balik lagi langganannya,” kata Supervisor SPBU Muri Fikri.

Kendati kini Pantura tak lagi jadi jalur emas untuk pengusaha restoran, pedagang, dan SPBU, harapan berbisnis di sana masih ada. Yuli misalnya, dia berharap pada Pelabuhan Patimban dapat kembali meramaikan Pantura yang kini sepi.

Pelabuhan dan pabrik jadi salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi terjangan badai di Pantura. Di sepanjang jalan, ada sejumlah pabrik yang berdiri tegak. Kebanyakan adalah pabrik tekstil di antaranya adalah PT Pan Pasific Nesia dan SJ Model yang bertempat di Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat.

Salah satu pejabat Kecamatan Ciasem menuturkan pabrik dan tol itu diharapkan dapat menyerap tenaga kerja yang berguguran akibat penutupan usaha-usaha di sepanjang Pantura. Banyak dari buruh pabrik itu, kata dia, adalah bekas pegawai dari rumah makan yang pernah berdiri di jalur Pantura. “Isu aktualnya bahwa ada pengangguran. Makanya harus bikin komitmen yang tidak bekerja bisa dilimpahkan kepada perusahaan-perusahaan. Perusahaan baru kan ini garmen ada tiga. Ada garmen Cisait, SJ Model sama PT Pan Pacific nesia. Itu ada banyak, Alhamdulillah membantu pengangguran,” kata sang pejabat.

Para pengusaha rumah makan pun sangat berharap dengan keberadaan pabrik-pabrik dan Pelabuhan Patimban. Keduanya diharapkan dapat menjadi pusat keramaian baru di Pantura yang kini sepi. Asa masih ada untuk menjadikan Pantura sebagai jalur emas bagi para pengusaha restoran, pedagang dan SPBU. “Kalau pelabuhannya sudah jadi, bisa ramai lagi,” ucap Yuli.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Danang Parikesit mengatakan BPJT belum melakukan kajian untuk dampak Tol Trans Jawa secara keseluruhan. “Kajian dampak baru mau mulai tahun ini. Tapi kami ingin melihat dan mengkaji dampak sosial terutama untuk melihat dan mengurangi dampak sosial itu sendiri dan melibatkan masyarakat lokal untuk aktivitas ekonomi karena pembangunan jalan tol,” katanya.

Namun, dia mengatakan saat ini pemerintah telah memikirkan untuk mencari cara agar meningkatkan perekonomian di area yang terdampak pembangunan tol.
“Tadinya kita harapkan pemerintah daerah lakukan transformasi ya, pertumbuhan ekonomi sangat erat kaitannya dengan fasilitasi pemerintah daerah kita mau dorong bersama pemda lakukan transformasi,” katanya.

Dia berharap tercipta transformasi. Pedagang yang semula berjualan di jalan nasional harus diundang ke rest area. Tentunya, mereka juga harus meningkatkan kualitas makanan minuman serta barang yang dijual.

Terkait biaya mahal sewa di rest area, menurutnya bisa disiasati dengan kerjasama melalui Pemda-Pemda. “Pertama memasukkan pengusaha ke rest area. Mungkin di tiga tahun pertama tidak bisa biaya sendiri, apalagi UKM. Sewa bisa difasilitasi Pemda atau CSR badan usaha, kalau mau ya itu pertama sehingga kita dorong, dan presiden sudah katakan 70 persen, rest area diisi produk lokal itu akan kita mulai dan tertibkan,” katanya.

Menurut Danang, seharusnya Pemda-Pemda telah memiliki jalan keluar sebelum pembangunan tol. Sebab, rencana pengembangan jarigan jalan tol sudah ada lima tahun sebelumnya.
“Jadi yang dikerjakan lima tahun ke depan. Pemda seharusnya sudah tahu, kan tata ruangnya ada. Menurut saya memang harus ada,” katanya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro sendiri menyebut Tol Trans Jawa secara jangka panjang akan mendorong pembangunan kawasan industri di sekitar jalan tol. Dengan demikian, ada peluang investasi tumbuh di dalam negeri. "Kawasan-kawasan industri tumbuh di sepanjang jalan tol karena kan mereka bisa mengakses langsung pelabuhan tanpa harus berlokasi dekat pelabuhan, tapi di sekitar jalan tol dia bisa akses ke pelabuhan dan kereta api," lata Bambang.

Selain mendorong investasi, pembangunan kawasan industri juga disebut Bambang menambah pundi-pundi pendapatan daerah. Misalnya, dari sisi perpajakan dan konsumsi di sekitar kawasan industri itu berdiri. "Jadi dia bisa akselerator dari pertumbuhan ekonomi lokal," jelasnya.

Senada, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyatakan nanti akan ramai kawasan industri di sekitar jalan Tol Trans Jawa. Apalagi, gaji tenaga kerja di daerah juga relatif masih murah. Ia juga meyakini Tol Trans Jawa tak akan mematikan bisnis moda transportasi lain. Keberadaan tol tersebut justru membuat harga angkutan semakin kompetitif, sehingga konsumen diuntungkan.

"Makanya pelaku ekonomi harus lebih efisien. Itu sudah hukumnya. Kalau tidak dibuat tol protes juga. Ada tol kan sekarang bisa milih. Ini semua harus kompetisi," ujarnya menegaskan.***