PEKANBARU - Tiga orang Dokter berstatus ASN dinyatakan bersalah dan divonis ringan dalam sidang putusan perkara korupsi Alat Kesehatan (Alkes) di RSUD Arifin Achmad, Pekanbaru, Riau. Ketiga orang dokter tersebut adalah, dr. Kuswan Ambar Pamungkas, dr. Welly Zulfikar dan drg. Masrial. Ketiganya dijerat Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 64 KUHP.

"Menyatakan terdakwa Welly Zulfikar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun 8 bulan," ujar majelis hakim yang diketuai Saut Maruli Pasaribu, Kamis (02/05/2019).

Sementara terdakwa Masrial divonis hukuman penjara 1 tahun 4 bulan dan Kuswan Ambar Pamungkas divonis 1 tahun penjara. Hakim sempat berbeda pendapat (Dissenting opinion) saat menjatuhkan vonis terhadap Kuswan.

"Satu hakim menyatakan terdakwa Kuswan tidak bersalah dan membebaskan terdakwa sedangkan dua hakim lain berpendapat berbeda. Kami memutuskan berdasarkan suara mayorias," Sebut Saut.

Tidak hanya hukuman penjara, ketiga orang dokter juga dihukum membayar denda subsider penjara. Besarannya, Rp132 juta atau subsider 6 bulan untuk Welly, Rp120 juta subsider 6 bulan penjara untuk Masrial dan Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan untuk Kuswan.

"Satu bulan setelah putusan inkrah harta benda terdakwa disita dan dilelang mengganti kerugian negara. Jika tidak, dapat diganti hukuman 6 bulan penjara," kata Saut.
Vonis tersebut, lebih ringan dari tuntutan Jaksa sebelumnya yakni; 1 tahun dan 8 bulan dan denda sebesar Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan untuk Kuswan, 2 tahun kurungan, denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan dan tambahan pidana berupa membayar uang pengganti sebesar Rp131.717.303 subsider 1 tahun kurungan untuk Marsial, dab 2,5 tahun serta denda Rp50 juta subsider 6 bulan dan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp213.181.975 subsider 1 tahun dan 3 bulan kurungan untuk Welly.

Selain tiga dokter, majelis hakim juga menghukum Direktrur CV. Prima Mustika Raya (PMR), Yuni Efrianti, dengan penjara 1 tahun 2 bulan, denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan dan mengganti kerugian negara sebesar Rp66.709.841,- (nilai ini sudah dibayarkan).

"Diperintahkan kepada JPU, setelah hukuman inkrah menyetor uang tersebut ke Kas Daerah," tegas Saut.

Sebelumnya, Jaksa menuntut Yuni dengan pidana penjara selama 20 bulan, denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan, dan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp66.709.841.

Atas vonis ini, tiga dokter tersebut menyatakan banding. Sementara, Direktrur CV. PMR menyatakan pikir-pikir selama 7 hari untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.

Dalam perkara ini, majelis hakim telah menghukum staf CV. PMR, Mukhlis dengan penjara 1 tahun 2 bulan, denda Rp50 juta atau subsider 3 bulan dan uang pengganti Rp90 juta atau subsider 3 bulan.

Diketahui, berdasarkan surat dakwaannya, JPU menyebut perbuatan para terdakwa terjadi pada tahun 2012 hingga 2013 silam dengan cara membuat Formulir Instruksi Pemberian Obat (FIPO) dengan mencantumkan harga yang tidak sesuai dengan harga pembelian sebenarnya dalam pengadaan alat kesehatan spesialistik Pelayanan Bedah Sentral di RSUD AA Riau.

Dalam pembelian itu, pesanan dan faktur dari CV PMR disetujui instansi farmasi. Selanjutnya dimasukkan ke bagian verifikasi untuk dievaluasi dan bukti diambil Direktris CV PMR, Yuni Efrianti  Selanjutnya dimasukkan ke Bagian Keuangan.

Setelah disetujui pencairan, bagian keuangan memberi cek pembayaran pada Yuni Efrianti. Pencairan dilakukan Bank BRI, Jalan Arifin Achmad. Setelah itu, Yuni Efrianti melakukan perincian untuk pembayaran tiga dokter setelah dipotong fee 5 persen.

Pembayaran dilakukan kepada dokter dengan dititipkan melalui staf SMF Bedah, saksi Firdaus. Tindakan terdakwa melanggar peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah.

Menurut JPU, CV PMR diketahui bukan menjual atau distributor alat kesehatan spesialistik yang digunakan ketiga dokter. Kenyataannya, alat tersebut dibeli langsung oleh dokter bersangkutan ke distributor masing-masing.

Alat kesehatan juga tidak pernah diserahkan CV PMR kepada panitia penerima barang dan bagian penyimpanan barang di RSUD AA Riau sebagaimana ketentuan dalam prosedur tetap pengadaan dan pembayaran obat, gas medis dan alat kesehatan pakai habis BLUD AA Riau.

Selama medio 2013 dan 2013, Direktrur CV PMR dibantu stafnya Muklis telah menerbitkan 189 faktur alat kesehatan spesialistik. Harga alat kesehatan yang tercantum dalam faktur berbeda-beda dengan harga pembelian yang dilakukan terdakwa dr Welly Zulfikar, dr Kuswan Ambar Pamungkas dan drg Masrial.

Dari audit penghitungan  kerugian keuangan negara ditemukan adanya kerugian negara sebesar Rp420.205.222. Jumlah itu diterima oleh CV PMR dan tiga dokter dengan jumlah berbeda.

Perinciannya adalah CV PMR sebesar Rp66.709.841. Sementara selisih harga alat kesehatan atau mark up harga yang diterima oleh ketiga dokter adalah dr Welly Zulfikar sebesar Rp213.181.975, dr Kuswan Ambar Pamungkas Rp8.596.076 dan dr Masrizal Rp131.717.303.

Perkara ini cukup menarik perhatian publik. Bermula dari kebijakan kejaksaan melakukan penahanan terhadap para pesakitan pada Senin, 26 November 2018 lalu. Penahanan itu menindaklanjuti penanganan perkara yang diusut penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Pekanbaru.

Atas penahanan itu, dokter-dokter di Riau bereaksi. Para dokter mendesak Korps Adhyaksa Pekanbaru itu menangguhkan penahanan terhadap tiga rekan mereka.

Tak hanya itu, upaya lain juga dilakukan. Seperti mengajukan permohonan penangguhan penahanan oleh sejumlah pihak, seperti dari RSUD AA Pekanbaru, dan sejumlah organisasi profesi kedokteran yang berada di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Riau.

Atas permohonan itu, Kejari Pekanbaru kemudian melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau untuk meminta petunjuk. Hasilnya, Kejari Pekanbaru tetap keukeuh melakukan penahanan. Hingga akhirnya perkara bergulir ke persidangan.

Tidak menyerah, tiga oknum dokter kemudian mencoba peruntungan dengan mengajukan permohonan pengalihan penahanan ke majelis hakim. Hasilnya, majelis hakim akhirnya mengabulkan permohonan tersebut. Selain tiga dokter, terdakwa Yuni Efrianti juga mendapatkan pengalihan penahanan dari tahanan rutan, menjadi tahanan kota. Sementara Muklis tetap berada di tahanan, karena yang bersangkutan tidak mengajukan permohonan.

Penetapan pengalihan penahanan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang digelar pada Senin (25/2/2019) malam, menanggapi permohonan yang diajukan sejak medio Desember 2018 lalu.***