JAKARTA - Terkait dengan sengkarut Quick Count dalam hajatan Pilpres 2019, Pengamat Komunikasi Politik lulusan Master of Arts dari University of Leicester, UK
Silvanus Alvin mendesak pihak aparat turun tangan. "Terkait dengan polemik perbedaan pendapat soal quick count, aparat penegak hukum perlu turun tangan dalam melakukan investigasi. Karena bukan hanya masyarakat yang terpecah melainkan bangsa kita juga jadi korban di sini. Di era post truth, individu hanya ingin memercayai apa yang mereka kehendaki saja," ujar Alvin melalui siaran persnya yang diterima GoNews.co, Minggu (21/4/2019) di Jakarta.

Selain itu, Alvin juga meminta, agar Elit politik bersikap layaknya seorang negarawan. Dengan mengutamakan negara maupun kepentingan masyarakat di atas nafsu pribadi untuk berkuasa.

"Jangan gelap mata sampai menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan pribadi. Kondisi demikian tidak bisa dibiarkan, kebenaran yang hakiki haruslah yang dijunjung tinggi," tandasnya.

Mereka yang dengan sengaja menyebarkan informasi palsu serta menyesatkan atau hoaks terkait hasil quick count Pilpres kata dia, harus dihukum dengan tegas. Hukumannya pun menurutnya harus setara dengan para koruptor.

"Kalau koruptor yang mencuri uang rakyat, masih ada teknis agar koruptor mengembalikan uang curian ataupun disita asetnya. Kalau pelaku hoaks, akan sangat sulit direhabilitasi masyarakat yang sudah menerima terpaan hoaks. oleh karena itu, dampak dari hoaks sangat berbahaya dalam mengancam persatuan Indonesia," tukasnya.

"Lembaga survei di bawah naungan Persepi yang dituduh menggiring opini publik sudah membuka ‘dapur’ mereka. Kini saatnya pihak penuduh yang membuka data dan metodologi. Pembuktian harus transparan. Kalau perlu media menanyangkan secara live. Biar publik tahu mana yang benar dan salah," bebernya.

Alvin juga berpendapat polemik saling klaim hasil quick count tidak boleh dibiarkan tenggelam begitu saja seperti 2014. Hal ini diperlukan agar masyarakat tahu mana yang benar dan yang salah.

Tidak hanya itu, pembuktian dari polemik saling klaim quick count ini katanya lagi, juga untuk menjaga marwah dunia akademis. Bahwa dunia akademis harus objektif.

"Jangan sampai dunia akademis malah dipolitisasi, apalagi dimanfaatkan sampai berdampak memecah bangsa. Saya menyarankan individu maupun kelompok yang terbukti memainkan quick count dengan data dan metodologi ngawur untuk diberi sanksi berupa 1. black list agar tidak boleh lagi terlibat dalam proses quick count. 2. Meminta maaf secara terbuka ke masyarakat umum di media dan juga diunggah ke media sosial agar diketahui masyarakat," tegasnya.

Yang terakhir kata Alvin, mereka juga harus membongkar alasan melakukan penyesatan informasi. Apakah disuruh oleh orang maupun pihak tertentu? Kalau iya, haruslah mereka mengungkap siapa dalangnya.

"Polisi diharapkan mengusut tuntas tanpa melihat latar belakang orang tersebut," pungkasnya.***