MEDAN-Hasil pemantauan terbaru tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan keberadaan orangutan aman dari aktivitas pembangunan pembangkit listrik energi bersih PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Temuan ini membantah kampanye yang selalu dilancarkan sejumlah LSM bahwa pembangunan PLTA tersebut mengancam kehidupan orang utan dan satwa liar lainnya di Batangtoru.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno mengungkapkan sampai saat ini tidak ada orangutan yang terluka apalagi sampai mati akibat pembangunan PLTA Batangtoru. “Sampai sekarang belum ada laporan satu ekor orangutan pun yang terbunuh  dengan adanya proyek PLTA Batangtoru. Ini patut kita syukuri,” kata dia pada sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini.

Wiratno menjelaskan, KLHK memang sudah menurunkan tim pemantau yang terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara dan Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Sumatera Utara, sejak Oktober 2018 lalu. Tim ini bekerja secara independen dan berkesinambungan (continuous monitoring) dengan pembiayaan sepenuhnya bersumber dari APBN. Untuk menjamin independensi, tim mengurangi interaksi dengan pihak yang pro dan kontra dengan aktivitas pembangunan PLTA Batangtoru.

Wiratno menilai temuan tersebut sangat menarik. Dia pun mengingatkan kepada calon investor apapun bentuk investasinya untuk selalu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses pembangunan. Tujuannya agar kelestarian satwa liar bisa terjaga. “Bukan hanya orangutan, tapi juga harimau dan satwa liar lain,” katanya.

Dia melanjutkan, pembangunan PLTA Batangtoru bisa menjadi pembelajaran menarik di masa yang akan datang, bagaimana pembangunan bisa berjalan beriringan dengan upaya pelestarian satwa liar. Wiratno secara khusus juga mengingatkan tentang pentingnya keterbukaan dalam proses pembangunan serta pentingnya menjalin komunikasi dengan para pihak yang terkait.

PLTA Batangtoru dirancang memiliki kapasitas 510 MW. Bertipe peaker, PLTA Batangtoru akan menjadi andalan saat jaringan listrik Sumatera menghadapi beban puncak. Meski memiliki kapasitas besar, namun tak ada bendungan besar yang dibangun. Melainkan hanya kolam harian yang luasnya sekitar 90-an hektare. Bandingkan dengan kebutuhan lahan di PLTA Jatiluhur yang menghasilkan tenaga listrik 150 MW namun membutuhkan bendungan seluas 8.000 hektare.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Munir Ahmad menegaskan pentingnya pembangunan PLTA Batangtoru. “Saat ini pasokan listrik di Sumatera kritis. Kalau ada salah satu pembangkit mati, maka sebagian Sumatera akan padam,” katanya.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik di Sumatera itu, lanjut dia, pemerintah mendorong dikembangkannya pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan seperti PLTA Batangtoru. Ini sesuai dengan rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027, kontribusi EBT dalam bauran energi pembangkitan tenaga listrik ditarget naik mencapai 23% pada tahun 2025.

Dia menjelaskan, beroperasinya PLTA Batangtoru bisa menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar minyak yang saat ini dimanfaatkan. Ini akan berdampak pada penghematan biaya operasional yang besarnya bisa mencapai 300 juta dollar AS (Rp 4,5 triliun) per tahun.

“Kalau dibandingkan, biaya operasional dari PLTA Batangtoru hanya sekitar Rp1.600 per KWH. Bandingkan jika menggunakan bahan bakar minyak, bisa mencapai Rp 3.000 per KWH,” katanya.

Biaya operasional yang hemat, lanjut Munir, berarti juga pemerintah bisa menyediakan listrik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. “Kita kembangkan energi baru terbarukan untuk mendapat listrik murah dan secara lingkungan juga bisa membantu mencegah perubahan iklim,” pungkas Munir.*