JAKARTA - Migrasi pemilih penyebab elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) gembos. Jelang hari H pencoblosan pilpres, migrasi pemilih Jokowi terjadi kian meluas di berbagai latar belakang pemilih. "Ini tentu sangat menguntungkan pasangan Prabowo-Sandi. Karena migrasi pemilih Jokowi hanya bermuara kepada memilih Prabowo-Sandi atau menjadi golongan putih (golput)," kata Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Bin Firman Tresnadi melalui pesan elektronik kepada redaksi, Kamis (4/4).

Dia mengatakan migrasi pemilih Jokowi terdeteksi sejak lama. Survei IDM pada Mei 2018 menunjukkan migrasi pemilih didominasi kelompok masyarakat yang termarjinalkan oleh janji Jokowi, yakni petani dan buruh.

Petani merasa tidak puas atas turunnya harga komoditas dan impor beras yang digenjot pemerintah. Peternak ayam skala kecil banyak gulung tikar karena tidakstabilnya harga pakan yang berlangsung cukup lama. Adapun para buruh ogah memilih Jokowi karena terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 (PP 78) tentang Pengupahan yang mengebiri hak upah buruh.

Bin Firman menjelaskan survei IDM yang dilakukan pada 8-21 Oktober 2018 menggambarkan migrasi terjadi akibat ketidakpuasan terhadap kinerja Jokowi di bidang ekonomi. 38.9% responden mengatakan kondisi ekonomi mengalami penurunan sementara 48,4% mengatakan kondisi ekonomi mereka sama saja alias stagnan.

"Hasil survei IDM pada bulan Maret ini menunjukkan sebanyak 71.7% responden mengatakan sulit mencari pekerjaan. Ini menambah migrasi pemilih Jokowi di kalangan milenial yang memang sangat membutuhkan lapangan kerja," papar dia.

Migrasi pemilih Jokowi juga melanda kelas menengah perkotaan, dimana isu korupsi dan demokrasi merupakan hal penting bagi kelas ini. Tertangkapnya Romahurmuziy sebagai salah satu tim inti Jokowi dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga kriminalisasi terhadap pengkritik Jokowi, masih kata Bin, menambah deret barisan migrasi pemilih Jokowi.

Bin mengingatkan pada Pemilu 2014, pertarungan antara Jokowi dengan Prabowo adalah pertarungan value (nilai) dan pertarungan idiologi (gagasan). Jokowi mengusung kerakyatan dan Prabowo mengusung kemandirian nasional. Jokowi sebagai simbol gerakan politik kerakyatan dicitrakan sebagai “si Marhaen” seperti rakyat Indonesia pada umumnya. Hal ini nampak dalam wujud kampanye Jokowi seperti menjadi tukang tambal ban, mengayuh becak, harga pakaian yang dikenakan, dan sejenisnya.

Sedangkan Prabowo mencitrakan sebagai pelanjut para pendiri bangsa, bisa dilihat dari gaya berpakaian Prabowo yang mencontoh busana para pejuang kemerdekaan. Pun dalam orasi-orasinya, Prabowo selalu mengatakan, "percaya dan bangun kekuatan diri sendiri, kita akan menjadi macan Asia".

"Rakyat pun memilih Jokowi sebagai Presiden. Kemenangan Jokowi saat itu sangat tipis, hanya selisih 6,3% dari suara yang memilih Prabowo. Tapi apa lacur, Trisakti program unggulan Jokowi di masa kampanye 2014 masuk tong sampah. Subsidi-subsidi rakyat dikurangi, impor merajalela, BUMN di privatisasi. Rakyat pun meradang," demikian kata Bin Firman.***