PADANGSIDIMPUAN>-Kasus pembunuhan anak dengan kekerasan yang dilakukan oleh Sahad Gadang Tarihoran (28), di Dusun Muara Pardomuan, Desa Tandihat, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), beberapa waktu lalu telah ditangkap dan ditahan sejak tanggal 10 Oktober 2018 kini telah disidangkan dan pelaku dinyatakan gila.

Kasus ini telah di sidangkan pada Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, dan tersangka di dampingi oleh M Sahor  Bangun Ritonga SH MH, yang bertindak sebagai pembela. Dalam proses persidangan tersebut, terlihat Sahat Gadang Tarihoran yang diduga menderita kelainan jiwa terlihat hanya diam tertunduk dan sekali-kali tertawa menghadap ke bawah.

Seringkali pihak majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan penasehat hukum meminta tersangka untuk berbicara, namun tak digubris oleh tersangka, sehingga dihadirkanlah saksi ahli dari rumah sakit jiwa Prof Dr Muhammad Ildrem, Provinsi Sumatera Utara bernama Dr Evalina  Parangin  Angin Sp.KJ selaku psikiater.

Ahli menerangkan bahwa tersangka mengalami gangguan jiwa yaitu, menderita Skizofrenia Paranoid dan Retedasi mental. Sesuai dengan pemeriksaan MMPI pada tanggal 04 Desember 2018, bahwa penyakit tersebut tidak dapat membedakan mana khayalan dan kenyataan. Bahwa yang menderita penyakit tersebut juga tidak sadar apa yang mereka perbuat, semua perbuatan yang mereka lakukan terjadi dibawah alam sadarnya.

"Sahat  Gadang Tarihoran juga sangat berbahaya apabila dibiarkan berbaur dengan khalayak umum, sehingga sesuai dengan keadaan tersangka Sahat harusnya dirawat dan diberi obat secara rutin untuk kesembuhannya," tutur Dr Evalina  Parangin  Angin.

Dalam sidang 19 Maret 2019 dalam perkara tersebut berdasarakan  putusan menyatakan terdakwa Sahat Gadang Tarihoran telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "melakukan kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia.

Menyatakan  bahwa terdakwa pada waktu melakukan perbuatannya tersebut tidak mampu bertanggung jawab  karena adanya gangguan jiwa dan oleh karena itu melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslaag Van recht vervolging).

Memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan. Memerintahkan agar terdakwa dimasukkan ke rumah sakit jiwa selama 1 tahun sebagai waktu percobaan.

Menyatakan barang bukti berupa :1(satu) stel baju kaos bola, 1 (satu) buah parang bergagang kayu ukuran panjang kurang lebih 50cm dimusnahkan. Menetapkan agar biaya perkara sejumlah Rp.5000 (lima ribu rupiah) dibebankan kepada Negara.

M Sahor Bangun Ritonga SH MH selaku penasehat hukum dari tersangka, tak lupa menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya anak dari Mariduk Panggabean yang menjadi korban dalam peristiwa itu.

"Perlu saya terangkan agar dimasyarakat tidak menjadi tafsiran yang bias tentang perkara ini,  bahwa hukum positif negara kita dikenal sebagai aturan hukum yang harus kita patuhi sebagai warga negara. Bahwa hukum positif tersebut dalam perkara ini ialah KUHP dan UU perlindungan Anak sehingga pada perkara ini dijelaskan pasal 44 KUHP yaitu seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggung karena penyakit. Sehingga keluarga dan masyarakat umum harus mematuhinya,"terangnya, saat diwawancarai wartawan.

Selain  itu Sahor juga mengapresiasi putusan dari majelis hakim pengadilan negeri Padangsidimpuan yang mengadili perkara ini telah objektif menilai terdakwa sehingga penerapan hukum dalam perkara ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam persidangan dan aturan hukum di Indonesia yang diharapkan selama ini.

Dilain sisi, Sahor mengkritisi pemerintah yaitu Dinas Sosial Tapanuli Selatan, karena  dia menilai  ada kelalaian dari Dinas Sosial atas keadaan ini. "Andaikata dinas sosial melaksanakan upaya pencegahan yaitu dengan cara menangkap orang yg memiliki penyakit kejiwaan(gila) di Tapanuli Selatan maka tentunya tidak akan terjadi hal yang demikian,"tuturnya.

"Saya berharap Dinas Sosial kedepan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU HAM yang berbunyi, Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjaminkehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,”imbuhnya.

"Oleh karena itu dinas sosial tentunya dapat melakukan upaya yaitu orang cacat mental (gila) tersebut dimasukkan  ke rumah sakit jiwa atau setidak-tidaknya panti sosial untuk mendapat perawatan yang semestinya dan agar tidak mengganggu masyarakat sekitar,"akhir Sahor.*