BALIGE - Bupati Tobasa, Darwin Siagian dan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengapresiasi bedah buku sekaligus peluncuran novel "Tegar" karya Dr dr Umar Zein SpPD, KPTI, DTM&H. "Luar biasa. Akhirnya semuanya rata-rata meneteskan air mata, sangat sedih melihat anak-anak itu. Kan mereka anak-anak yang di Samosir itu kan yang dikucilkan itu. Mudah-mudahan mereka tegar menghadapi," ujar Bupati singkat usai peringatan HUT ke 16 HKBP Balige dan peluncuran novel "Tegar", Jumat (29/3/2019) di Aula HKBP Balige Jalan Rumah Sakit.

Hal senada juga disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. Dirinya sangat mengapresiasi novel yang dituliskan Umar Zein berdasarkan kisah nyata anak HIV/AIDS yang dikucilkan dan disuruh agar berhenti sekolah.

"Ini peristiwa yang sudah lama. Seingat saya 7 tahun yang lalu dan saya ikuti dimulai dari Siborong-borong dan lain sebagainya. Jadi saya kira novel ini yang dikonkritkan melalui bentuk tulisan, ini adalah gagal paham mengenai HIV/AIDS yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan gereja juga. Karena semua anak-anak itu dianggap terkutuk dan terbuang. Sehingga kita menyimpulkan anak-anak itu, ada beberapa orang tadi, seperti anak terkutuk, pendosa, maka perlu harus dihilangkan. Kalau dihilangkan, berarti itu melanggar hak anak, keberlangsungan hidup mereka," ujarnya.

Fenomena seperti ini, sambung Arist, juga melanggar hak hidup. Mereka lahir juga bukan atas kehendak mereka, namun kenapa harus distigmatisasi.

"Kenapa harus kita berikan stigma, kita usir dari kampung, lalu kita pisahkan dari anak-anak yang lain. Saya kira gagal paham ini semua. Saya kira penekanan dalam buku ini menjadi pelajaran agar anak-anak yang terpapar HIV/AIDS karena perlakuan orang dewasa, harus mendapat perlindungan yang maksimal. Itu juga sudah kita lakukan misalkan di Solo. Waktu itu Walikota hampir gagal paham. Tetapi walikota memberikan perhatian yang cukup serius, sehingga mereka (anak-anak HIV/AIDS) bisa diintegrasikan ke sekolah-sekolah. Hari ini juga apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Samosir tidak boleh melakukan diskriminasi, karena dia terpapar HIV, di home schooling. Dia jangan dipisahkan dengan masyarakat, karena dia (anak HIV/AIDS) bukan harus dikucilkan," jelasnya.

Karena gagal pahamnya pemerintah dan masyarakat, makanya Komnas Perlindungan Anak sangat merekomendasikan dilakukannya reintegrasi program.

"Itu yang tepat, bukan mengucilkan. Seperti di Solo bukan di home schooling, tapi bersamaan, inklusif dan sebagainya. Jadi yang saya rekomendasikan dalam bedah buku ini yakni reintegrasi korban kepada lingkungan masyarakat supaya hak-haknya terpenuhi," tukasnya.

Arist juga memaparkan pentingnya merajut kembali nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan.

"Bersamaan dengan ulang tahun ke 16 HKBP tentang HIV/AIDS, Komnas Perlindungan Anak menyampaikan itu, biarlah gereja menyampaikan, menyuarakan hak-hak yang harus disampaikan. Janji iman, bagaimana anak-anak terselamatkan dari pelanggaran-pelanggaran dan sebagainya," paparnya.

Dirinya juga meminta pemerintah memasukkan pelajaran mengenai HIV/AIDS ke dalam kurikulum pendidikan. Bukan saja tentang kesehatan, tapi juga mencakup toleransi, kesamaan hak, dan penghargaan hak asasi manusia.

"Itu kan sangat minimal di kurikulum kita. Nilai-nilai itu harus dilakukan agar terbangun, itu yang saya sebutkan tadi merajut kembali nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan yang beradab dan sempurna tentunya," tutupnya.*