SIPIROK-Pernyataan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang fokus melakukan penelitian terkait ekosistem di dalam kawasan hutan Batang Toru, khususnya satwa langka Orang Hutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) yang masuk dalam spesies orang hutan yang berbeda dengan satwa sejenis yang ada di pulau lain seperti di Kalimantan.

Berdasarkan data dari hasil penelitian yang telah mereka lakukan, yang dimuat dalam salah satu media, mengklaim ada ratusan ekor orang hutan di dalam kawasan hutan Batang Toru. Yang lebih miris, mereka mengatakan ratusan Orang Hutan juga telah mati akibat rusaknya ekositem Hutan Batang Toru. Oleh sebab itu, berdalih mengganggu habitat Orang Hutan dan ekosistem disekitarnya, YEL meminta pemerintah agar meninjau ulang izin dan menghentikan proses pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Simarboru (Sipirok, Marancar, Batang Toru). Karena menurut YEL pembangunan pembangkit listrik berkekuatan 510 MW di aliran sungai (Aek Batang Toru) itu dapat menimbulkan kerusakan ekosistem lingkungan disekitarnya sehingga otomatis berdampak terhadap kelangsungan satwa yang hidup di hutan Batang Toru khususnya Orang Hutan Tapanuli.

Mendengar hal tersebut, salah seorang warga Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) bernama Arif Aritonang, yang memiliki kebun di sekitar kawasan hutan Batang Toru, membantah kabar tersebut.

"Selain saya, boleh ditanya warga Desa Bulu Mario yang lain ada berapa ekor Orang Hutan yang hidup di hutan Batang Toru. Yang ada hanya puluhan ekor. Saya mengatakan ini berdasarkan bukti yang saya lihat langsung dan pengalaman saya sendiri,"cetus pria berkumis itu kepada GoSumut.com, Rabu (27/3/2019) pagi.

Bantahan yang disampaikan Arif tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, pria yang sehari-harinya juga bekerja menyadap pohon aren ini pernah mendampingi kelompok peneliti lingkungan yang juga mendata Orang Hutan sekitar tahun 1997 yang lalu.

Arif menceritakan, selama 1 bulan penuh dia berperan mendampingi atau memandu kelompok peneliti yang berjumlah 10 orang di dalam kawasan Hutan Batang Toru dan salah seorang anggotanya berasal dari luar negeri. Sebagian peneliti yang dia ajak bicara mengatakan bahwa, mereka datang dari Jakarta dan dibiayai oleh dunia untuk menjalankan misi mereka tersebut.

"Saya 1 bulan penuh tinggal di dalam hutan mendampingi para peneliti itu. Salah seorang dari mereka berasal dari luar negeri, saat ditanya mereka datang dari mana, mereka bilang dari Jakarta. Bahkan mereka mengaku dibiayai oleh dunia dalam misi penelitian mereka waktu itu,"tutur Arif lagi mengenang kisahnya itu.

Lebih jauh lagi Arif bercerita, di hari pertama mereka memasuki hutan diawali dari hutan sekitar Desa Bulu Mario, lalu kemudian mendirikan camp (tenda) untuk menginap di wilayah Si Tolu. Pada hari pertama itulah mereka bertemu dengan seekor orang hutan yang dilihat dari besar tubuh dan bulunya bisa dikatakan sudah tua. Orang hutan tersebutlah yang mereka ikuti untuk diteliti salama satu bulan, dengan tujuan untuk menemukan kelompok habitat Orang Hutan lainnya di sekitar Hutan Batang Toru. Setelah mengikuti Orang Hutan itu, mereka berhasil menemukan beberapa kelompok Orang Hutan lainnya dengan jumlah 3 sampai 5 ekor setiap kelompoknya.

"Di hari pertama kami bertemu dengan seekor Orang Hutan yang sudah tua. Yang seekor itulah setiap hari kami ikuti dan dijadikan objek penelitian sehingga kami bertemu dengan beberpa kelompok Orang Hutan lainnya,"tutur Arif. Berdasarkan pengalamannya dalam penelitian selama 1 bulan itulah Arif membantah informasi yang mengatakan terdapat ratusan ekor Orang Hutan di dalam kawasan hutan Batang Toru. Bahkan, mereka tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar adanya Orang Hutan yang mati apalagi jumlahnya ratusan ekor.

"Dari mana mereka memperoleh data ada ratusan ekor Orang Hutan yang hidup di hutan itu. Jika dijumlahkan dari seluruh Orang Hutan yang kami jumpai pun tak sampai ratusan ekor,"tegas nya.

Disinggung terkait matinya ratusan ekor orang hutan di sekitar hutan Batang Toru, dia juga membantahnya. Setahunya, hanya ada seekor orang hutan yang mati dan diduga karena faktor usia, bukan karena faktor manusia atau karena rusaknya ekosistim hutan.

"Selama ini kami hanya mengetahui ada seekor orang hutan yang mati, itupun diduga karena faktor usia (sudah tua) bukan karna dibunuh atau karna rusaknya ekosistim hutan. Kalau mereka bilang ada ratusan ekor orang hutan yang mati, itu mengada-ada namanya,"tegas Arif yang diperkuat Rosul.

Seperti diketahui berdasarkan data yang ada, hutan Batang Toru terletak di 3 wilayah Kabupaten di Sumatera Utara (Kabupaten Tapsel, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah) yang luasnya mencapai 168.658 hektar, mencakup Hutan Lindung Sibolga (2.875 Ha), Cagar Alam Sibual Buali (5.000 Ha) dan Cagar Alam Dolok Sipirok (6.970 Ha).. Hutan ini juga terbagi jadi dua yakni, blok hutan Batang Toru Barat dan blok hutan Sarulla Timur. Berdasarkan data tersebut, sangat tidak masuk di akal jika habitat Orang Hutan akan terancam akibat pembangunan PLTA Simarboru. Yang mana, luas areal yang dipakai untuk PLTA tersebut hanya sekitar 0,05 % dari seluruh kawasan hutan Batang Toru. Jadi, masih ada tempat untuk kelangsungan hidup Orang Hutan Tapanuli. Terakhir, Arif dan Rosul Aritonang bersama beberapa warga lainnya yang di temui wartawan di Desa Bulu Mario, berharap kepada pemerintah agar pembangunan PLTA Simarboru segera di selesaikan demi kepentingan hidup masyarakat disekitarnya.

"Karena pembangunan PLTA ini diperkirakan lebih banyak memberikan manfaat yang positif untuk membantu mata pencaharian warga. "Kami mendukung pembangunan PLTA Simarboru agar segera selesai. Bukankah PLTA itu dapat menampung tenaga kerja lokal khususnya warga sekitar sehingga tingkat pengangguran dapat berkurang. Manfaatnya juga bisa sampai ke anak cucu kami nanti,"ucap warga kompak.*