TAPSEL-Terkait adanya aksi penolakan pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Simarboru (Sipirok, Marancar, Batangtoru), yang sedang dilaksanakan saat ini diduga berdampak terhadap berlangsungnya proses pelaksanaan pembangunan proyek pembangkit listrik berkekuatan 510 Mega Watt (MW) di aliran sungai Batangtoru ini. Jumat (22/2/2019).

Raja Luat Sipirok, Edward Siregar gelar Sutan Parlindungan Soeangkoepon pun angkat bicara. Seperti yang disampaikan dalam orasi aksi unjuk rasa (unras) damai oleh beberapa lembaga pemerhati Lingkungan seperti, WALHI (Wahana Pemerhati Lingkungan) Sumatera Utara (Sumut) dan beberapa lembaga pemerhati lingkungan lokal, pada Kamis (21/2/2019) kemarin di jembatan Sisoma, Kecamatan Batangtoru, Tapsel. Yang mengatakan, bahwa pembangunan PLTA Simarboru belum sesuai ketentuan yang ada salahsatunya menyangkut amdal dan Ekosistem.

Raja Luat Sipirok menyampaikan bahwa masalah lingkungan dan ekosistem di sekitar pembangunan proyek PLTA, masyarakat lokal (Sipirok, Marancar, Batangtoru) sudah mengetahui itu dan lebih paham akan kondisi alam disekitarnya dari pada orang yang bukan penduduk setempat.

"Kami sebagai warga lokal yang tinggal di Sipirok lebih tau kondisi wilayah kami dari pada mereka yang datang dari luar. Janganlah lembaga pemerhati lingkungan mengambil keputusan tanpa berkordinasi lebih dulu dengan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan warga Sipirok, Marancar dan Batangtoru,"tegasnya saat diwawancara oleh wartawan.

Edward melanjutkan, dari faktor Amdal dan Ekosistem satwa, PLTA Simarboru merupakan proyek yang ramah lingkungan sehingga, kecil kemungkinan jika nanti PLTA tersebut beroperasi menyebabkan Polusi terhadap lingkungan disekitarnya. Hal tersebut telah dibahas saat sosialisasi pembangunan proyek ini beberapa tahun lalu dan melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan warga Kecamatan Sipirok, Marancar dan Batangtoru. Sedangkan perkiraan terhambatnya aliran sungai Batangtoru juga kecil kemungkinnya terjadi, sebab air yang dimanfaatkan sebagai penggerak turbin adalah aliran air sungai.

"Dari penelitian yang dilakukan oleh ahli, PLTA itu kan ramah lingkungan dan terkait Amdal telah disosialisasikan terhadap warga sebelum proyek ini dimulai. Jadi, kecil kemungkinan menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan dan habitat disekitarnya,"tuturnya. Menyangkut satwa, khususnya yang dilindungi Undang-Undang seperti, Orang Hutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dan burung Enggang. Edwar mengatakan bahwa penanganan hal tersebut sudah dibahas oleh pihak NSHE (North Sumatera Hydro Energi) dengan pemerintah daerah Tapanuli Selatan (Tapsel), Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan bahkan dengan organisasi dunia  WWF (Worl Wild Feseration). Dengan kondisi keadaan hutan diwilayah Tapsel yang masih luas, maka pengelola dan pihak pemerintah masih dapat mengatasi solusi penanganan satwa-satwa itu.

"Kondisi hutan di Tapsel kan masih luas dan masih ada yang perawan, tentunya penanganan satwa-satwa khususnya yang dilindungi masih bisa dicarikan solusi oleh NSHE dengan pemerintah,"lanjutnya lagi. "Saya tegaskan, pemerintah tidak mungkin membangun sesuatu yang menyengsarakan masyarakatnya,"tegasnya mengakhiri.

Terakhir, ketua Paguyuban Peduli Lingkungan Hidup Simarboru, Abdul Gani Batubara bersama tokoh pemuda Sipirok Rifai Pane dan Lempang Siagian menambahkan, pihaknya sebagai warga Sipirok sekali lagi menegaskan mendukung sepenuhnya pembangunan proyek PLTA Simarboru. Jangan sampai pihak-pihak lain yang sengaja menunggai lembaga-lembaga apalagi terkait lingkungan untuk menghalangi pembangunan proyek tersebut, karna PLTA itu lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat dari pada segi negatifnya.

"Jangan ada pihak lain yang menghambat pembangunan PLTA ini. Dampak pembangunan PLTA Simarboru baik segi Positif dan Negatifnya, sebagai warga lokal kami lah yang merasakan langsung,"tegas mereka.*