MEDAN-Tess Bacalla, Direktur Eksekutif Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) menyebutkan dalam setiap peliputan, jurnalis perempuan diminta lebih peka dengan sekelilingnya. Jurnalis perempuan bukan hanya bisa meliput dan menghadirkan berita yang dilihatnya, namun sebagai jurnalis perempuan, perasaan untuk mengungkapkan sebuah berita dapat lebih peka dibandingkan jurnalis laki-laki.

Tess hadir dalam diskusi “Meliput Pemilu dengan Perspektif Perempuan” yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI)  yang bekerjasama dengan Dewan Pers. Pada kesempatan itu  Tess juga menyebutkan,  bahwa topik peliputan Pemilu dari perspektif gender tidaklah baru untuk jurnalis perempuan. Termasuk jika berbicara tentang gender, bukan hanya tentang perempuan dan itulah sebabnya kata Tess, dalam sebuah diskusi gender tetap harus menghadirkan laki-laki.

“Perempuan dapat mempengaruhi arah dialog publik. Misalnya  kita membicarakan perempuan, saya menanyakan dimana perempuan dalam peliputan Pemilu? Dimana perempuan berarti saya menanyakan apakah peliputan membawa permasalahan perempuan ke permukaan dan menjadi bagian dari wacana atau pembicaraan publik?” ujarnya.

Kata Tess, jika membicarakan tentang peliputan Pemilu dan tidak hanya tentang isu Pemilu, namun jurnalis perempuan dapat melakukan peliputan mendalam atas isu yang ada, agar dapat bermakna,” jelas Tess.

Terlebih media sebagai agenda setter dan gate keeper berdasarkan apa yang kita muat di halaman depan atau jika kita di radio menampilkan highlight.

 Tapi selama ini, menurut Tess, perempuan hanya menjadi bagian 24% dari apa yang dibaca, dilihat atau ditonton di berita. Padahal populasi perempuan 50% dari populasi global.

Untuk itu, kata Tess dengan adanya FJPI memiliki peran penting dalam mengangkat isu yang mempengaruhi perempuan.

“Ceritakanlah liputan Anda lebih terlihat, terdengar, dan ditonton lebih banyak lagi dan ini bukan masalah fisik tentang kecantikan dan keseksian perempuan. Sebab perempuan tidak hanya tentang fisik,” ujarnya.

Tess memberikan contoh saat melakukan peliputan tsunami Aceh 2014, dirinya menemukan bahwa saat terjadi bencana perempuan lebih menderita.

"Perempuan datang ke pusat pemulihan, tapi saat pulang ke rumahnya, perempuan masih harus memasak, menjaga anak-anak. Contohnya lagi, perempuan memerlukan toilet yang bisa diakses yang tidak jauh dari tempatnya, karena akan berisiko bagi keamanan perempuan jika toiletnya jauh, tapi siapa yang memikirkan tentang itu? Hal inilah yang perlu kita angkat ke permukaan, sehingga para pembuat kebijakan memahami permasalahan perempuan. Jadi meningkatkan level wacana. Siapa yang berbicara tentang ini, siapa yang menulis tentang ini? siapa yang membicarakan? dan siapa pejabat yang membicarakan tentang ini? Hanya kita, junalis perempuan,” tegasnya.

Data dari World Association of Christian Communication, pada 1995, perempuan menjadi topic berita sebesar 17%, ini sangat kecil. Pada tahun 2000, lima tahun kemudian menjadi 18%, pada tahun 2005 menjadi 21%. Jika pola ini diikuti, keterwakilan perempuan di media akan sama dengan laki-laki 74 tahun dari sekarang.

“Untuk masalah Pemilu, jurnalis perempuan harus menanyakan terkait isu perempuan. Saya menantang Anda. Saya juga masih seorang jurnalis, tingkatkan level wacana, buatlah tulisan atau karya untuk itu. Menurut saya, FJPI pada posisi untuk bisa melakukan hal ini,” demikian pungkasnya.*