BINJAI - Mantan Menteri Kehutanan RI, MS Kaban turut berkomentar soal kasus dugaan alih fungsi hutan lindung yang dilakukan PT Anugerah Langkat Makmur (ALAM) yang kini ditangani penyidik Polda Sumatera Utara. Berbicara hutan lindung, Kaban menjelaskan, hal itu ada kriterianya. Namun dirinya melihat, kasus yang dialami PT ALAM ini bukan persoalan hukum.

"Kalau persoalan hukum yang mau dilakukan Kapolda, harusnya kasus register 40 itu harus dituntaskan, karena ini sudah inkracht. Kalau memang benar-benar diselesaikan secara hukum, harus seperti register 40, yang dia sudah inkracht. Mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai kasasi, itu sudah tuntas. Tentu bayangkan sudah puluhan tahun, itu sudah keputusan inkracht, kalau diuangkan sudah puluhan triliunan rupiah yang menjadi hak negara. Ini sudah jelas, sudah incracht, tapi masih dikuasai. Ini jelas persoalan hukum," ungkap Kaban, Senin (11/2019) di Binjai.

"Tapi kalau PT ALAM, saya melihat kecenderungannya, karena ini sudah 30 tahun, dan Departemen Kehutanan tidak pernah memberikan tuntutan apa-apa, kemudian ada peraturan-peraturan pemerintah yang minta ini harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, dan sekarang tiba-tiba dikriminalkan, bagi saya ini agak tidak mix gitu. Saya menilai ini terlalu politis. Sebaiknya, saya sebagai orang yang pernah tahu dimasalah itu, tidak ingin dan tidak punya intervensi, tapi karena ini nuansanya terlalu politis, apa yang mau dicapai? target apa yang mau diambil?," tanya dia.

Persoalan hutan lindung di Departemen Kehutanan, tentunya otoritas kehutanan mempunyai kriteria-kriterianya untuk menjelaskan hal ini hutan lindung.

"Dan ingat, bukan berarti hutan lindung itu tidak bisa dimanfaatkan. Pemanfaatan hutan lindung itu bisa. Freeport itu, ya hutan lindung. Kalau mencari-cari kesalahan, Freepot itu hutan lindung. Jadi bukan tidak bisa, (ini dimanfaatkan)," jelasnya.

Makanya kalau ditinjau dari berbagai aspek hukum, Kaban melihat ini terlalu tendensius.

"Dan menurut saya, penegakan hukum itu tidak sehat, sudah 30 tahun. Kalau mau, selesaikan dulu, baru ditata ulang. Kalau memang itu betul-betul mau diselesaikan, karena ini kan sudah lama. Kalau saya lihat ini terlalu politis dan tendensius, karena ada yang sudah inkracht, tapi tidak disentuh. Bahkan ada potensi kerugian negara. Bayangkan 10 tahun register 40 itu dengan 47.800 hektar, kalau tiap panen 47.000 ton, kalau saya hitung sudah Rp47 triliun, sedangkan (soal PT ALAM) ini ada pihak bank, bank dunia, ada kewajiban negara yang harus membayarnya. Jadi kalau menurut saya, ini diselesaikan sajalah," bilangnya.

Menyoal PT ALAM, dirinya melihat hal ini merupakan suatu kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah terdahulu, jadi pemerintah sebelum orde baru sudah membuat kebijakan.

"Kita kan tidak bisa mengadili kebijakan. Hormati kebijakan itu. Bagi saya ini terlalu tendensius dan politis. Saya tetap mengatakan, ada kasus yang benar-benar sudah inkracht aspek hukumnya, tapi kenapa tidak disentuh, dan itu ada potensi kerugian negara. Kalau ini (PT ALAM) bermanfaat buat masyarakat, ada kontribusi buat penerimaan negara," terangnya.

Dirinya juga menyinggung soal Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.44/Menhut-II/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang direvisi menjadi SK.579 /Menhut-II/20 14 tentang kawasan hutan Provinsi Sumut.

"Dulu kan itu ada dari dinas kehutanan, saya kira dinas kehutanan juga sudah melakukan klarifikasi tentang kawasan itu. Makanya saya bilang, ada peraturan-peraturan pemerintah yang menginstruksikan, memerintahkan untuk diselesaikan, karena itu ada kebijakan-kebijakan dulu. Kita harus belajar bernegara ini, kebijakan itu, sepanjang tidak merugikan negara, saya kira itu diberikan saja. Apalagi ini sudah cukup lama. Apa berlaku surut? Kita sangat memahami bahwa penegakan hukum itu tidak ada memberlakukan surut. Apa yang diputuskan, jalan," jelasnya kembali.

Apa yang dialami PT ALAM saat ini, dirinya merasa prihatin. Pasalnya, dirinya juga terus mengikuti kasus register 40, namun tak kunjung selesai.

"Padahal hakim sudah oke semua, tapi (PT ALAM) ini kan belum. Artinya ada kebijakan di masa lalu, namanya kebijakan tidak bisa kita mengadilinya. Kemudian saya lihat, saya ikuti perkembangan, ini pengaduan siapa sebetulnya? Saya tidak melihat itu dari Departemen Kehutanan, paling tidak pemeriksaan Departemen Kehutanan dari gakkum misalnya. Jadi ini agak aneh. Padahal undang-undang kehutanan itu lex specialis," bebernya lagi.

Sekali lagi, dirinya menyebut ini tendensius dan politis. Karena sekarang ini memang sedang suasana seperti itu.

"10 tahun di zaman SBY, anteng-anteng aja, gak ada masalah. Kita pernah melakukan operasi, itu hanya untuk memperingatkan bahwa jangan masuk ke wilayah TNGL. Nah sekarang kan persoalan tata batas. Saya katakan ini buah hasil dari kebijakan pemerintah dulu. Apakah sekarang kita mau membikin budaya baru mengkriminalisasi kebijakan? Paling tidak kita menghormari kebijakan di masa lalu, sehingga ada peraturan-peraturan yang baru itu cenderung untuk menyelesaikan dengan istilah win-win solution," tutupnya.*