JAKARTA - Maraknya berita-berita hoax yang disebarkan oleh media tanpa badan hukum dan tidak bertanggung jawab sudah disiasati oleh Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Dewan Pers saat ini sudah membentuk satgas media online bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memberantas media online abal-abal. Satgas itu bekerja dengan menutup langsung media atau website yang dinilai sudah melanggar kode etik jurnalistik.

"Satgasnya sudah ada sejak Desember 2018, cuma kita sekarang lagi menyiapkan rule of engagement (ROE)-nya, jadi harus jelas rule of engagement-nya. Sampai saat ini masih berproses," kata Yoseph saat diskusi publik bertajuk "Memberantas Jurnalis Abal-Abal" di gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (11/2).

Meski belum tertulis secara resmi, Yosep mengatakan satgas itu sudah bekerja dan disebutnya sudah banyak media online yang kena penindakan. Media tersebut kebanyakan media yang belum terverifikasi dan menyiarkan konten sewenang-wenang atau tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.

"Jadi untuk media yang tidak jelas, yang memfitnah dilaporkan kepada Dewan Pers, kemudian media yang mengimitasi, media yang menulis secara sewenang-wenang, itu nanti kami akan melakukan dalam list media yang perlu dideteksi, selama ini kan sudah banyak pengaduan yang masuk ke Dewan Pers. Tapi tidak dilakukan take down oleh kementerian," katanya.

Menurut Stanley biasa disapa, satgas ini sudah bekerja sesuai dengan fungsinya. Beberapa media online yang terindikasi menyebarkan hoax langsung di-take down.

"Sudah ada yang keterlaluan misalnya polhukam.com itu udh di-take down. Namanya polhukam.com tapi isinya hoax dan kebencian," bebernya.

Kemudian, sambung dia, banyak pula media abal-abal yang modusnya menyerupai media-media nasional seperti Tempo, Detik, Kompas dan sebagainya.

"Jadi untuk media yang tidak jelas, yang memfitnah dilaporkan kepada Dewan Pers, kemudian media yang mengimitasi, media yang menulis secara sewenang-wenang, itu nanti kami akan melakukan dalam list media yang perlu dideteksi," pungkas Stanley.***