MEDAN-Setiap tahun, luas lahan hutan manggrove mengalami defisit atau berkurang akibat kerusakan yang disebabkan penebangan liar (ilegal logging) dan alih fungsi atau konversi. Sehingga kondisi hutan mangrove di kawasan Sumatera Utara (Sumut) semakin kritis.

Seperti yang dikatakan ahli hutan mangrove dari Universitas Sumatera Utara (USU), Onrizal. Secara umum kondisinya memang semakin memprihatinkan. Meskipun ada upaya rehabilitasi atau perbaikan terhadap hutan mangrove tapi tidak mengurangi jumlah kerusakan yang terjadi.

  "Laju kerusakannya lebih besar dibanding upaya perbaikan terhadap hutan mangrove," ujar Onrizal yang dihubungi, kemarin.

Menurut Onrizal, dari riset yang dilakukannya pada 2018 dibandingkan dengan beberapa tahun silam, ternyata keberadaan atau lahan hutan bakau di Sumut hanya tersisa sekitar 50 persen. Trennya terus mengalami penurunan, walau ada perbaikan.

"Kerusakan hutan mangrove yang terjadi, diakibatkan penebangan liar dan pengalihan lahan menjadi tambak ataupun perkebunan kelapa sawit. Dari data penelitian, pada 2002 hingga sekarang paling banyak kerusakan akibat pengalihan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan, sejumlah lahan hutan bakau yang dirubah menjadi tambak kini beralih fungsi ke perkebunan kelapa sawit," ungkap pria yang lulus dari Fakultas Kehutanan IPB pada 1997 silam.

Onrizal yang banyak meneliti mangrove di berbagai lokasi, lebih lanjut menyebutkan, kawasan pesisir timur Sumut termasuk Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) hampir merata kerusakan lahan hutan mangrove yang beralih fungsi.

"Dampak yang ditimbulkan dari berkurangnya lahan hutan mangrove adalah banjir rob. Kemudian, berkurangnya populasi ikan dan udang atau biota perairan. Sebab, hutan mangrove menjadi tempat kehidupan mereka," sebutnya.

Disinggung bagaimana kondisi hutan mangrove di Medan, Onrizal menyatakan tidak jauh berbeda secara umum. Lahan hutan tersebut yang sebagian besar berada di kawasan Medan Utara (Sicanang, Belawan) telah dikonversi.

"Hutan mangrove sebetulnya banyak berada di luar kawasan perhutanan. Meskipun di luar kawasan hutan namun fungsinya bukan berdasarkan apakah di luar atau di dalam kawasan perhutanan. Fungsi keberadaan hutan itu mampu membawa dampak positif," tuturnya.

Diutarakan Onrizal, keberadaan hutan mangrove mampu mengantisipasi bencana alam baik lokal maupun pemanasan global atau perubahan iklim. Dari hasil riset, keberadaan lahan mangrove mampu menyimpan karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) jauh lebih besar dibandingkan hutan daratan umumnya. Rata-rata perbandingan karbon yang disimpan di dalam tanah bisa 5 kali lipat.

"Jadi, kalau lahan mangrove dialihfungsikan maka tentu melepaskan karbon dan metana atau gas rumah kaca ke udara. Makanya, keberadaan hutan mangrove harus terus ditingkatkan jumlahnya untuk mengantisipasi pemanasan global," tegasnya.*