MEDAN - Orang-orang muda atau yang lazim disebut sebagai generasi milenial, umumnya tidak menyukai politik. Di tengah keriuhan jelang Pemilihan Presiden, kalangan ini juga terlihat tak terlalu antusias, bahkan beberapa cenderung apatis dan tak peduli dengan figur yang akan dipilih menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya.

Ketidakpedulian inilah yang dicemaskan banyak kalangan akan berpotensi semakin memperbesar angka golput di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan H Dadang Darmawan Pasaribu, S Sos, M Si, praktisi politik yang pernah menjabat sebagai Ketua Badko HMI Sumut, dalam Talk Show Milenial Anti Golput yang digelar oleh Komunitas Relawan Milenial Bersatu, di Keude Kuphi Gaminong jalan Setiabudi Medan, Sabtu (22/12) malam.

Di hadapan para peserta talk show yang didominasi kalangan muda dari berbagai universitas dan organisasi tersebut, Dadang menegaskan, bahwa saat ini telah terjadi revolusi pemilih. Orang-orang muda lebih memilih figur pemimpin yang berasal dari orang-orang muda juga, sehingga dianggap lebih mewakili keberadaan mereka.

“Kalangan milenial ini sesungguhnya adalah kelompok yang anti kemapanan, tidak menyukai politik dan sulit ditebak. Mereka juga selektif dan kritis. Tapi justru dengan karakter yang demikian, mereka harus diikutsertakan dalam dinamika politik negeri ini. Kalangan muda harus ikut menentukan arah masa depan bangsa, salah satunya dengan mengikuti proses pemilihan calon pemimpin,” kata Dadang.

Menurut Dadang, kaum muda saat ini tidak boleh lagi apatis dengan politik. Sebab di tangan kaum mudalah, martabat bangsa dipertaruhkan. “Golput tidak menjadi pilihan yang tepat dalam bernegara. Karena pasti tidak akan menghasilkan apapun dalam proses demokrasi dan pembangunan politik,” tandasnya.

Dadang menegaskan, bahwa kekuasaan itu penting. Dan ia sependapat dengan para filsuf terkenal dunia, bahwa politik merupakan puncak dari martabat kekuasaan.

Praktisi politik yang berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU tersebut menambahkan, besarnya angka golput di kalangan anak muda merupakan tantangan besar bagi partai politik, sekaligus juga sebagai pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban segera.

“Pertanyaan yang patut diajukan sekarang terkait besarnya angka golput ini adalah, apa sebenarnya yang telah terjadi dengan politik kita hari ini? Juga seperti apa watak perpolitikan kita yang mengakibatkan kalangan muda menjadi tak peduli dengan seluruh proses demokrasi yang tengah berlangsung? Apakah juga pendidikan politik pada hari ini sudah berjalan sebagaimana diharapkan?” tanya Dadang dengan miris.

Terkait golput, Dadang mendeskripsikan sebagai sesuatu yang sebenarnya tak terlalu dicemaskan dan dianggap serius pada banyak negara di dunia.

“Di luar negeri, semakin kita percaya kepada pemerintah, kita semakin tidak ingin pergi ke TPS. Berbeda dengan di Indonesia. Kita tidak datang ke TPS sesungguhnya adalah sebuah bentuk protes bahwa kita tidak percaya kepada pemerintah. Politik yang dijalankan pada masa orde baru adalah politik yang menyeret orang untuk datang ke TPS. Nah, yang terjadi kemudian adalah ketika seseorang tak memiliki pilihan dan merasa bahwa calon yang ada tidak mewakili keinginannya, maka ke TPS itu untuk apa dan memilih siapa? Dari sinilah bibit golput itu berkembang,” kata Dadang.

Pendidikan politik yang baik, menurut Dadang, yakni ketika kita memilih seseorang, kemudian seseorang itu berkuasa dan ia menepati janji-janji politiknya. Hal itulah yang kemudian melecut seseorang untuk datang ke TPS, baik secara sadar maupun tidak.

“Apakah pendidikan politik seperti itu sudah berjalan hari ini? Belum. Pendidikan politik kita saat ini masih berjalan secara procedural, belum menyentuh secara substansial. Perlambatan demokrasi tengah terjadi,” simpul Dadang.

Sementara itu, Nazir Salim Manik, mantan Komisioner KPU Sumut, pada kesempatan yang sama mengemukakan, bahwa menjadi tugas kita semua untuk membuat pemilu sebagai sebuah kebutuhan, sehingga melahirkan kepedulian (aware) dari kelompok milenial. Haru ditanamkan bahwa nilai satu suara itu sangat penting bagi kelangsungan masa depan negara.

“Daya kritis harus kita tumbuhkan bahwa one man one vote itu sangat penting dan strategis bagi pembangunan bangsa ke depan. Dari awal kita juga sudah harus siap sebagai pemilih. Tidak hanya menjadi pemilih pasif, melainkan juga harus bertindak sebagai pemantau dari keseluruhan proses penyelenggaraan pemilu,” tandasnya.

Lowren Efendi Purba, selaku Ketua Relawan Milenial Bersatu dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa gelar diskusi yang diadakan oleh komunitas yang dipimpinnya merupakan salah satu upaya untuk membuka kesadaran kaum muda atau kalangan milenial, terhadap arti penting keterlibatan aktif dalam memilih pemimpin.

Dengan demikian, angka golput yang berkisar antara 35 hingga 40 persen itu dapat menurun secara signifikan. Apatisme yang cukup besar di kalangan milenial salah satu sebabnya adalah kurangnya pemahaman bahwa suara yang dimiliki oleh kalangan muda memiliki arti penting dan strategis untuk membawa bangsa pada kemakmuran dan kejayaan di masa depan.

Sementara Sekretaris Relawan Milenial Bersatu, Siti Soraya Ivan Iskandar menegaskan, bahwa talkshow yang digelar hanya ingin mengikis apatisme dan mengarahkan kalangan milenial untuk turut serta memberikan hak suara mereka dalam pesta demokrasi yang akan berlangsung ke depan. Kegiatan-kegiatan dengan misi serupa namun dalam kemasan yang lebih menarik bagi kalangan muda akan juga akan digelar dalam waktu dekat dan menjadi agenda rutin Komunitas Milenial Bersatu dalam menyongsong Pemilu mendatang.

Komunitas Relawan Milenial Bersatu dideklarasikan pada tanggal 8 Desember 2018, bertempat di Amaliun Convention Hall Medan.*