JAKARTA - Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menuding korupsi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) masuk stadium 4. Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Prof Dr Suparji Ahmad, terlepas dari unsur politis, pernyataan Prabowo tersebut bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, kata Suparji, pada faktanya banyak kasus besar yang belum terselesaikan oleh Kejaksaan, lantaran pimpinan korps Adhyaksa itu telah gagal mengimplementasikan revolusi mental dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dirinya pun berpendapat kejaksaan saat ini seperti terserang penyakit kronis.

"Mengapa saya katakan demikian, karena ada perilaku antagonis penegak hukum yang membuat kronis. Contoh, banyak kasus besar yang belum terselesaikan, kejaksaan malah menyasar kasus baru yang terkesan sebagai alat pencitraan semata, contohnya kasus kriminalisasi jaksa Chuck, yang digunakan untuk menutupi kasus kakap yang lama mangkrak," kata Suparji di Jakarta, Kamis 6 Desember 2018.

Kejaksaan pun dinilai sudah terjebak dalam perilaku kontradiksi dalam upaya pemberantasan korupsi. Belum lagi tidak adanya sinergi antar penegak hukum, seperti penanganan kasus Kondesat yang ditangani Bareskrim Polri. Lalu ada kasus Chevron, Asian Agri, Indosat, Bank Permata, dan masih banyak lainnya.

"Tidak adanya sinergi tersebut justru menimbulkan kekronisan yang baru. Seharusnya kan semua berjalan proporsional. Ini terkesan ada kompetisi pencitraan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Artinya ada 'kegagalan' implementasi revolusi mental di kalangan penegak hukum kejaksaan.”

Faktor lain merebaknya tindak pidana korupsi, menurut Suparji karena perilaku aparat kejaksaan yang kurang memahami atau tidak mencoba integritas secara konkrit. "Mohon maaf saja, tidak adanya rasa takut oknum pejabat kejaksaan untuk melakukan dan menutupi korupsi. Mereka cenderung berpikir bagaimana 'menyelamatkan' dan 'mengamankan' oknum yang telah melakukan tindak pidana korupsi," tambahnya.

Untuk itu, ia berharap pada kesempatan yang baik di tahun periode terakhir kepemimpinannya, Presiden Jokowi harus memberikan contoh nyata kerja nyata pemberantasan korupsi. Salah satunya mendorong kinerja Kejaksaan Agung dalam menuntaskan pemberantasan korupsi, dilakukan secara obyektif, profesional, tidak didasarkan ‘like n dislike’.

"Jangan sampai kejagung menjadi instrumen subyektif yang tidak mempedulikan rasa keadilan masyarakat."

Kondisi Kejagung saat ini menjadi catatan Jokowi di masa mendatang untuk memilih Jaksa Agung yang bisa memberikan kepastian hukum, tidak jumawa dan mampu memberikan pelayanan masyarakat dengan prima. Jangan lagi menghasilkan Jaksa Agung seperti ini," kata dia.

Terkait banyaknya desakan penggantian Jaksa Agung M Prasetyo, Suparji menilai tidak salah meski sudah tidak efektif karena masa pemerintahan Jokowi tinggal hitungan bulan lagi. "Tapi tidak masalah untuk menggantinya. Tentunya perlu dukungan pengawasan Komisi Kejaksaan dan masukan dari masyarakat," kata dia.

Adapun beberapa calon yang saat ini santer beredar di masyarakat untuk menggantikan Prasetyo antara lain Jamintel Jan Maringka, dan Antasari Azhar. Nama Jan Maringka sendiri kuat lantaran berhasil menangkap beberapa buronan yang selama ini belum berhasil ditangkap para pejabat Jamintel sebelumnya. ***