MEDAN - Kebiasaan berpantun sangat terkait erat dengan tradisi masyarakat pesisir di Indonesia, termasuk daerah pantai timur Sumatera seperti Riau, Asahan, Medan, Langkat, dan sebagainya. Dalam kesehariannya orang-orang di wilayah tersebut sejak dulu sangat akrab dengan pantun. Keindahan susunan kata-kata selalu terdengar asyik tatkala kita mendengar orang menyampaikan pantun, terlebih lagi berbalas pantun.

Hinca Panjaitan, Sekjen DPP Partai Demokrat yang juga putra asli Asahan, Sumatera Utara, terlihat masih sangat akrab dengan pantun. Ia seperti mengkritisi pentas politik hari-hari terakhir ini yang dipenuhi ujaran-ujaran tidak mendidik, dengan merangkai kata-kata indah sebagaimana ciri khas sajak-sajak dalam pantun.

"Apa tanda Kota Kisaran, Simpang Tiga Tugu Pahlawan. Apa tanda kampanye yang negarawan, ide dan gagasan dilepas dengan elegan," ungkap Hinca seperti tertulis dalam akun twitter pribadinya, Rabu (14/11/2018).

Melalui pantun tersebut, Hinca yang kembali maju menjadi anggota DPR RI 2019-2014 daerah pemilhan Sumut III ini sepertinya jelas ingin mengkritisi perkembangan perdebatan politik belakangan ini. Yakni kata-kata yang tidak mendidik seperti sontoloyo, gundoruwo, cebong, kampret, dan seterusnya.

Meski malang melintang di panggung politik tanah air, Hinca memang dikenal tak pernah lupa dengan kampung halamannya. Keseringannya pulang kampung serta dialek Asahannya yang tidak hilang, membuatnya mendapat tempat di hati masyarakat Asahan.

Ditambah lagi kemampuannya mengungkap kata-kata indah adalah keunggulan yang jarang dimiliki politisi saat ini. Di tengah-tengah kebisingan kata-kata yang tidak mendidik, Hinca seperti menjadi oase di tengah gurun pasir.*