MEDAN-Dr Abdul Hakim Siagian SH Mhum (AHS) menegaskan penyuluh pertanian pantas diperjuangkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Karena menurut Calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) Nomor 21 Dapil Sumatera Utara (Sumut) ini, keberadaan Penyuluh Pertanian yang merupakan ujung tombak dan garda terdepan dari aparatur di sektor pertanian yang akan menggerakkan laju pembangunan di sektor tanaman pangan dan hortikultura.

AHS menyebut, keberadaan penyuluh pertanian turut andil dalam mendukung program regenerasi petani, karena rata-rata setiap tahun Indonesia kehilangan 2 persen jumlah rumah tangga petani yang berpindah profesi, dan dari petani yang ada ini 61 persen berusia diatas 45 tahun.

Oleh karena itu, lanjut AHS, sudah sepantasnya keberadaan para penyuluh pertanian ini diperhatikan secara serius. Ia berharap para penyuluh pertanian yang selalu setia mendampingi para petani dan senantiasa membagi ilmunya kepada petani agar melakukan perubahan diberikan penghargaan yang layak oleh pemerintah. “Alangkah naifnya bila status mereka tidak diberikepastian, hanya sekedar dikontrak tanpa ada jaminan masa depan. Ini akan kita dorong dan kita perjuangkan alokasi anggaran untuk pertanian dan mengangkat mereka menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),” kata AHS, Rabu, (7/11/2018).

Dari data terakhir, kata AHS, terungkap bahwa dari total jumlah penyuluh pertanian di Sumut yang mencapai lebih dari 4000, ternyata yang statusnya PNS baru sekitar seribu orang. “Sementara yang lain sebagian besar masih berstatus Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP),” pungkasnya.

Carut Marut Pertanian

Sebab selama ini, Indonesia dikenal sebagai negara agraria, namun faktanya hari ini, tidak hanya sekedar carut-marut, bahkan sekarang mungkin boleh dikatakan kondisi pertanian kita sudah mendekati titik darurat.

AHS mengungkapkan sejumlah problematika dunia pertanian kita, seperti pengurangan dan pengalihan lahan yang sistematis, kemudian kian berkurangnya jumlah petani yang ingin melakoni profesi ini, persoalan bibit, pupuk, produk, penyaluran dan persoalan harga. “Dan yang lebih memprihatinkan lagi, petani kita selalu berhadapan dengan musuh besar bangsa beradab, yakni monopoli, oligapoli dan kartel,” ujar akademisi Universitas Muhammadiyah Sumatera (UMSU) ini.

Cukup disayangkan, kata AHS, atas nama pasar negara membiarkan kebiadaban itu terus terjadi memangsa petani-petani kita. “Naif kita bangsa petani, negara agraris, tapi belacan pun sekarang didatangkan dari luar. ini potret nasib petani kita, tak ada pembelaan dan perlindungan negara kepada petani saat mereka bermasalah. Pada saat mereka membutuhkan bibit justru yang menentukan harga adalah produsen, bahkan tak jarang beredar bibit palsu, pupuk palsu dan obat-obatan pertanian palsu,” katanya.

Lebih tragisnya lagi, lanjut AHS, saat mereka (petani) panen, lagi-lagi yang menentukan harga adalah produsen. “Luar bisa, dalam hal ini sama sekali negara tak hadir. Bahkan gilanya lagi justru negara kerap membuat kebijakan impor yang jelas-jelas menyengsarakan petani,” ucapnya seraya menegaskan kembali akan memperjuangkan status Penyuluh Pertanian.